Sabtu, 22 Januari 2011

TOKOH DAN PENOKOHAN DALAM CERPEN “SUGRIWO-SUBALI” KARYA YANUSA NUGROHO

oleh Anita Rima Dewi, Evi Selfiawati, Meidy Ardyan Kautsar Arriv, Pitria Dara R., dan Prima Hariyanto

Pada umumnya, hal yang menonjol dalam wayang adalah tokoh-tokohnya. Karakter tokoh berkaitan dengan lakon dalam kisah tersebut. Oleh karena itu, jika orang melihat sebuah pertunjukan wayang, sebenarnya yang dilihat adalah pertunjukan lakon. Dengan demikian kedudukan lakon di dalam pakeliran sangat vital sifatnya. Melalui garapan lakon akan terungkap nilai-nilai kemanusiaan yang dapat memperkaya pengalaman kejiwaan (Murtiyoso, dkk., 2004: 56).
Lakon merupakan salah satu kosakata bahasa Jawa. Lakon berasal dari kata laku yang artinya perjalanan atau cerita atau rentetan peristiwa. Jadi, lakon wayang adalah perjalanan cerita wayang atau rentetan peristiwa wayang. Perjalanan cerita wayang ini berhubungan erat dengan tokoh-tokoh yang ditampilkan (Murtiyoso, dkk., 2004: 57).
Tokoh merupakan individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita (Sudjiman, 1986: 80). Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam cerita yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian (Nurgiyantoro, 2005: 176).
Karena tokoh-tokoh tersebut merupakan rekaan pengarang, pengaranglah yang ‘mengenal’ mereka. Oleh karena itu, tokoh-tokoh itu perlu digambarkan ciri-ciri lahir dan sifat serta sikap batinnya agar wataknya dikenal oleh pembaca. Watak ialah kualitas tokoh dan penciptaan citra tokoh inilah yang disebut penokohan. Penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh ini yang disebut penokohan (Sudjiman, 1988: 23).
Seperti telah disebutkan sebelumnya, dalam makalah ini, penulis akan menganalisis tokoh dan penokohan cerpen “Sugriwo-Subali” dan mengaitkannya dengan nilai sosial masyarakat. Nilai sosial merupakan sikap-sikap dan perasaan yang diterima secara luas oleh masyarakat dan merupakan dasar untuk merumuskan apa yang benar dan apa yang penting (NN, 2009: 1). Melalui pembahasan tokoh dan penokohan ini, kita dapat melihat nilai-nilai sosial tersebut.
 Cerpen “Sugriwo-Subali” karya Yanusa Nugroho memberi warna baru dalam cerita Sugriwo dan Subali yang terdapat dalam cerita Ramayana. Pengarang melakukan transformasi terhadap cerita pewayangan Sugriwo dan Subali ke dalam cerita pendek yang menampilkan potret sosial masa kini mengenai kehidupan masyarakat gembel dengan beragam permasalahannnya. Melalui bingkai yang berbeda tersebut, tokoh Sugriwo dan Subali pun digambarkan berbeda dari cerita Ramayana.
Di dalam cerpen tersebut, tokoh Sugriwo dan Subali digambarkan sebagai dua anak jalanan yang biasa hidup di tengah kerasnya hiruk pikuk kehidupan kota Jakarta. Sugriwo dan Subali digambarkan sebagai dua bersaudara yang bersama-sama hidup dalam masyarakat kelas bawah yang hidup di Kali Malang, Jakarta. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan berikut.
Sugriwo dan Subali tumbuh. Sugriwo banyak makan dan tubuhnya jadi makin lebar. Subali tetap kurus.
Mereka hidup dan berenang dalam kehidupan para gembel di bawah jembatan Kali Malang. Mereka tak pernah terlalu njlimet mengenali surga dan neraka. Hanoman mengajarinya, bahwa surga adalah makanan dan neraka adalah lapar. titik. Dan hidup harus mencari surga (Nugroho, 2002: 117).
Berbeda dengan cerita Ramayana, Sugriwa dalam cerpen ini digambarkan sebagai sosok lelaki yang kuat dan berbadan besar, sedangkan Subali bertubuh kurus. Sugriwa pun digambarkan sebagai orang yang merajai dunia hitam di kota tersebut. Ia sering dikejar polisi dan berkelahi dengan para jagoan pasar. Kehidupan yang keras dalam masyarakat kelas bawah mengharuskan mereka bersaing dalam mempertahankan hidup.
Sugriwo besar dan  hidup di pasar induk kota. Menghirup udara kota kecil itu. Melangkahi hari-hari bersama pencoleng. Mencari kehangatan pada perempuan malam. Dan Sugriwo makin terpencil dari kehidupannya karena dia terjauh dari Subali. Dialah gembong pencoleng kota itu. Dialah yang paling berkuasa atas para pelacur di kota kecil itu. Dialah raja hitam. (Nugroho, 2002: 119)
Walaupun di dalam kehidupan bermasyarakat terdapat nilai-nilai luhur yang mengarahkan seseorang dalam berperilaku sesuai dengan aturan masyarakat, Sugriwo dan Subali adalah manusia-manusia bebas yang tidak terikat oleh berbagai aturan masyarakat. Mereka tidak mempedulikan nilai baik atau buruk dalam tatanan hidup bermasyarakat. Mereka tidak pernah dipusingkan dengan adanya berbagai aturan hidup bermasyarakat. Mereka hidup dengan caranya sendiri karena cara mereka berpikir pun sangat sederhana. Mereka hanya mencari “surga” yang dimaknai secara sederhana sebagai makanan seperti yang diajarkan Hanoman pada keduanya.  Hal ini pun dapat kita lihat dari cara mereka memperoleh “surga” seperti tergambar dalam kutipan berikut.
“Makan marus sepuluh, bilangnya lima... lomboknya tujuh, ditambah tahu goreng dua... es gronjong dua gelas...” (Nugroho, 2002: 116)
Mereka mendapatkan surga itu di antara kerasnya besi-besi baja roda kereta api. Di sanalah mereka tiap hari melindaskan paku-paku sebesar telunjuk yang mereka curi dari gudangnya Ah Chu (Nugroho, 2002: 117)
Dalam cerpen ini, yang baik dan yang buruk menjadi padu sehingga menjadi sulit untuk mengambil salah satunya dipisahkan dalam diri kedua tokoh itu (Banita, 2009: 5). Sugriwo dan Subali melakukan beberapa tindakan kurang baik seperti berbohong, mencuri, dan mabuk-mabukan. Mereka tidak terikat dengan tatanan nilai baik-buruk yang berlaku masyarakat. Mereka memiliki cara dan aturan sendiri menghadapi kehidupan.
Sugriwo-Subali menghukumnya dengan caranya sendiri. Menelanjanginya lalu meninggalkannya begitu saja. (Nugroho, 2002: 118)
Walaupun demikian, hal ini tidak menghalangi Sugriwo dan Subali untuk menyayangi satu sama lainnya.
Dalam cerita Ramayana, Subali dan Sugriwa bersaudara secara biologis. Akan tetapi, persaudaraan mereka mudah luntur karena kesalahpahaman dan terlalu mengedepankan ego masing-masing. Mereka baru merasakan kehilangan setelah salah satunya, Subali, terluka parah. Saat Subali hampir meninggal, baik Subali maupun Sugriwa menyadari bahwa mereka terlalu mengutamakan ego masing-masing. Kemarahan dan dendam menguasai hati mereka sehingga menutupi hubungan persaudaraan tersebut.
Jika dibandingkan dengan kisah Sugriwo dan Subali dalam cerita Ramayana, terdapat suatu hal yang kontras mengenai hubungan tali persaudaraan antara Sugriwo dan Subali. Di dalam cerita Ramayana, kekuatan hubungan batin yang kuat tidak terlihat di antara kedua tokoh tersebut. Kasih sayang keduanya terlihat sangat rapuh karena kesalahpahaman yang terjadi di antara keduanya. Kesalahpahaman ini pulalah yang menyebabkan Sugriwa dan Subali bermusuhan sehingga keduanya terlibat dalam perkelahian dan berujung kematian Subali.
Di dalam cerpen ini, ketika Sugriwo dan Subali terpisahkan karena satu kesalahpahaman karena insiden truk sayur, mereka berdua pun saling menyalahkan seperti terlihat dalam kutipan berikut.
“Mengapa kau tak lompat Wok...” Subali menyentuh permukaan danau ketenangan malam itu. Berpendar sedikit, membuat Sugriwo tersentak. “Dan kau.. mengapa hanya diam di bawah.... mengapa tak segera naik...?” sahutnya mencoba menyalahkan Subali. “Kau tahu kan, bahwa aku tidak bisa memanjat.. hah.. kau sudah lupa padaku bahwa aku tidak bisa memanjat seperti kau... Kau pintar memanjat seperti monyet, bedes. Segharusnya kaulah yang melompat turun monyet...” Subali bangkit dan memaki langit. “Kau tahu truk itu bergerakk dan tinggi sekali. Aku bisa mampus setan, Bali, kau jangan gila...” (Nugroho, 2002: 119)
Mereka larut dalam kesedihan karena mereka harus hidup terpisah.  Kita dapat melihat keduanya saling mencari kekosongan arti saudaranya dengan berbagai hal. Sekalipun mereka terpisah, mereka tetap memikirkan satu sama lainnya.
Sugriwo tak tahu apakah Subali saat itu merasakan ketika dirinya dalam kejaran polisi...? adakah Subali tersentak ketika Sugriwo bertinju dengan jagoan pasar...? Adakah Subali menggigil ketika Sugriwo kehujanan....? Atau adakah Sugriwo merasa mulas ketika Subali sakit perut? Atau ketika dia mengorek tong sampah, adakah Sugriwo mencium bau busuk itu juga...? Tidak. Tidak ada yang tahu apakah mereka masih sama dalam segalanya seperti dulu (Nugroho, 2002: 120)
Jika kita melihat bagaimana kepedihan Sugriwo setelah berpisah dengan Subali dan sebaliknya, kita dapat melihat besarnya arti Sugriwo bagi Subali dan sebaliknya. Keduanya sama-sama kehilangan dan saling mencari keberadaan saudaranya.
Dua jiwa saling mencari. Dan dua jiwa itu seolah gundulan batu pada keseimbangan, yang tiba-tiba miring ketika salah satu di antaranya hilang entah ke mana. Tiba-tiba Sugriwo begitu berarti bagi Subali, di saat mereka berjauhan. Dan Subali begitu bermakna bagi Sugriwo, ketika mereka berpisah tanpa kepastian sua (Nugroho, 2002: 120).
Sugriwo merasa sangat kehilangan Subali. Ia terus mencari berusaha mengisi kekosongan hatinya karena terpisah dengan Subali dengan berbagai hal. Sekali lagi, pribadi sederhananya yang tidak mengenal nilai baik dan buruk masyarakat itu hanya mencari keberadaan saudaranya di segala penjuru.
Dia ingin menjumpai Subali. Di mana saja berada. Hatinya menjerit. Gejolak darahnya meronta. Subali yang dipanggil tak pernah hadir sekalipun dalam mimpi. Sugriwo, menyusuri kota. Menanyai setiap meja judi. Mencari di setiap meja judi. Mencari di setiap ranjang wanita malam. Menyusupi kuburan. Kalau-kalau Subali dijumpainya (Nugroho, 2002: 119—120)
Begitu pula dengan Subali, ia merasakan kepedihan yang sama dengan Sugriwo akibat insiden truk sayur itu. Ia pun tidak pernah berhenti mencari dan berharap bertemu dengan saudaranya, Sugriwo.
Subali menyusuri rel kereta. Bertanya pada koral-koral yang kaku bisu di sepanjang rel. dikuakkannya ilalang. Disibaknya gerumbul semak. Kalau-kalau ada mayat Sugriwo ditemukan. Diperhatikannya setiap truk yang lalu lalang, kalau-kalau seraut wajah serba lebar itu nongol… (Nugroho, 2002: 120)
Saat mereka bertemu kembali, mereka tidak serta merta langsung dapat saling memaafkan dan menerima dengan begitu saja. Dengan halus, pengarang menunjukkan rasa marah, kesal, dan pedih akibat ditinggalkan saudaranya pada hati Sugriwo dan Subali di tengah-tengah kebahagiaan pertemuan mereka.
... Dua hati menangis menumpahkan kangen. Tertawa haru. Menertawai pertemuan yang tak terduga. Menertawai keanehan alam yang sepertinya menyerah pada doa-doa mereka.... (Nugroho, 2002: 122)
Perasaan sedih, marah, dan kesal yang belum tuntas itu menjelma bentuk lain, yaitu keraguan akan keberadaan saudaranya. Mereka merasakan ada sesuatu yang berbeda pada saudaranya. Mereka merasa saudaranya yang ada di hadapannya tidak seperti yang dulu lagi. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan berikut.
“Tapi... apakah kau benar-benar Sugriwo...?” kata yang satunya melemah. “Hanya Sugriwo-lah yang bisa ditemui Subali, di tempat ini. Kau Subali kan....?” katanya memelas. Air matanya menetes. Turun membasahi pipi. Subali yang duduk di hadapannya merasakan getar pedih itu. Air matanya leleh. (Nugroho, 2002: 115)
Kepedihan akibat berpisahnya kedua bersaudara itu masih juga belum mudah hilang walaupun mereka sudah kembali bertemu. Dengan pedih dan marahnya, mereka saling menyakiti satu sama lain untuk menyampaikan perasaannya.
….. Botol kosong melayang dari tangan Subali. Dan… “Uh..” Sugriwo meraba jidatnya. Ada goresan perih di situ. Ada darah. Sugriwo menangis pilu. “Sepedih inikah hatimu Bali…?” Ucapnya di sela isak (Nugroho, 2002: 121)
“Darah... Kkau... luka Wok?” Sepedih inikah luka hatimu Li....?” ulangnya lemah. Subali tertegun. Sepertinya dia mendapat jawaban dari pertanyaan itu. Itulah yang ingin disampaikannya pada Griwo. Itulah yang selama ini dirasainya, tanpa tahu menamainya. Subali mengusapnya. “Oh… kau luka, Wok, pedih Wok?” “Oh… Griwo… Lukakah kau…?”
“ ya… luka yang dalam sekali… Bali… pedihmu… ada di keningku…” (Nugroho, 122)
Melalui kutipan-kutipan di atas, kita dapat melihat bahwa kepedihan itu masih ada di dalam hati masing-masing. Mereka dapat merasakannya, tetapi mereka sulit menamainya atau menyampaikannya. Mereka saling rindu dengan caranya sendiri. Subali yang masih merasakan kepedihan ditinggal Sugriwo menghantamkan botol ke kepala Sugriwo sampai terluka. Sugriwo merasakan kepedihan di kepalanya sebagai kepedihan hati Subali dan Subali pun merasakan kepedihannya setelah melihat luka Sugriwo. Keduanya terlihat saling menyayangi dan saling mengerti satu sama lain dengan luka di tempat masing-masing.
Perkelahian Sugriwo dan Subali merupakan salah satu adegan penting dalam kisah Subali-Sugriwa dalam cerita Ramayana. Pada bagian ini pulalah, cerpen ini melompati pakem yang ada dalam Ramayana. Dalam cerita aslinya, perkelahian mereka berdua berakhir pada kematian Subali, tetapi perkelahian mereka berdua dalam cerpen ini justru melahirkan rasa sayang yang semakin besar satu sama lainnya. Melalui perkelahian tersebut, mereka mampu merasakan kepedihan saudaranya sebagai bentuk kepedihan dirinya sendiri. Subali merasakan pukulan botol itu sebagai bentuk kepedihan Sugriwa selama berpisah dengannya, sedangkan Sugriwa pun merasakan kepedihan yang sama setelah melihat Subali berdarah-darah.
Mereka dapat saling merasakan penderitaan saudaranya sebagaimana penderitaannya sendiri. Hal ini menunjukkan adanya hubungan batin yang cukup kuat di antara keduanya sehingga mereka pun tidak larut dalam baku hantam saling menyakiti, tetapi justru menguatkan ikatan mereka. Hal ini dapat kita lihat dari cara mereka saling mengungkapkan rindu berikut ini.
Sebuah botol pecah lagi. Kali ini kepala Subali mengucurkan darah. Lalu gelak tawa terdengar meledak lagi. “Kita pulang Wok…?” “ya.. kita harus pulang Li…” (Nugroho, 2002: 122)
Walaupun mereka bukan saudara secara biologis, ikatan keduanya semakin kuat karena kepedihan menyatukan mereka (Nugroho, 2002: 118).
 
Daftar Pustaka
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia.
Murtiyoso, Bambang, dkk., 2004. Pertumbuhan dan Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang. Surakarta: Etnika.
Nugroho, Yanusa. 2002. “Sugriwo-Subali,” dalam Segulung Cerita Tua: Kumpulan Cerpen Yanusa Nugroho. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Perss.
Rajagopalachari, C. 2008. Ramayana. Yogyakarta: IRCiSoD.
Banita, Baban. 2009. “Postmodernisme dalam Cerpen Segulung Cerita Tua dan Sugriwo-Subali Karya Yanusa Nugroho” dalam http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/postmodernisme.pdf  (26 November)
NN. 2009. “ Pengertian Nilai Sosial dan Norma Sosial”  dalam  http://dewisnado.wordpress.com/2009/11/21/pengertian-nilai-sosial-dan-norma-sosial/ (26 November)