Sabtu, 05 Maret 2011

Latar dalam Novel Tarian Bumi


Latar Fisik
Latar fisik adalah tempat dalam wujud fisik yaitu bangunan, daerah, dan sebagainya. Latar fisik dibagai menjadi dua bagian yaitu latar tempat dan latar waktu. Latar tempat adalah tempat terjadinya semua peristiwa dalam sebuah cerita sedangkan latar waktu adalah penggambaran waktu terjadinya peristiwa-peristiwa dalam sebuah karya sastra. Berikut ini akan saya paparkan mengenai latar tempat dan latar waktu dalam novel Tarian Bumi.
1. Latar Tempat
Tempat terjadinya semua peristiwa dalam Novel Tarian Bumi  adalah di Bali. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya dialog yang diucapkan para tokoh mengenai Bali, nama-nama beberapa kota di Bali, dan bahasa Bali yang digunakan oleh tokoh-tokoh dalam novel Tarian Bumi. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa kutipan berikut.
”Perempuan Bali itu, Luh, perempuan yang tidak terbiasa mengeluarkan keluhan. Mereka lebih memilih berpeluh...” (hlm. 31).
”Sudah makan, Luh? Tanya seorang pedagang buah di pasar Badung...” (hlm. 60).
”Sudah Tugeg[1] siapkan baju untuk melihat upacara perkawinan di griya[2] Sanur? Coba Meme lihat, harus serasi”. Perempuan itu menatap mata Telaga serius (hlm. 136).
”Kalau saja Meme dari dahulu melarang Bli kawin dengan perempuan itu, Bli pasti sudah punya galeri di Ubud. Bli juga pasti tidak akan mati (hlm. 200).

Setting tempat dalam novel ini juga terdapat adegan yang ceritanya berlangsung di panggung dan sekitarnya sebagai tempat pementasan tari. Pada bagian ini, Oka Rusmini memperkenalkan tokoh Telaga dengan segala kelebihan yang dimilikinya. Telaga digambarkan sebagai perempuan bangsawan cantik yang pandai menari dan memperoleh taksu dari Dewa Tari. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.
Peluh para penari menjadi semangat yang membuat panggung terlihat semakin jalang. Bau peluh itu seperti muncrat menggenangi kedua kaki penari itu. Sepertinya, pada saat menari seluruh semesta memberi restu pada Telaga. Hanya pada tubuh Telaga dewa mau kompromi (hlm. 5).

Oka Rusmini pun menggambarkan kegiatan tokoh Luh Kenten di pura sebagai tempat ibadah bagi umat Hindu di Bali yang dapat kita lihat dalam kutipan berikut.
”Kamu jangan bicara ngawur, Sekar. Ini di Pura, aku takut para dewa mendengar pernyataanmu”( hlm.. 26).
Suasana pura semakin menggelisahkan. Sesaji sudah berada di hadapan Telaga. Mertuanya duduk di atas balai bambu. Hari semakin gelap bau daun beringin keras menghantam hidung Telaga (hlm. 221).

         Novel Tarian Bumi pun menempatkan cerita yang dilakukan di rumah Luh Sekar. Kejadian-kejadian tersebut merupakan kilas balik dari perjalanan hidup Luh Sekar sebagai perempuan sudra yang memperjuangkan hidupnya agar meraih kedudukan yang lebih tinggi dalam tatanan masyarakat Bali. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Luh Sekar mengusap pipi perempuan lemah yang terbaring di amben bambu itu (hlm. 59).
 ”Adik-adikmu sering membuat susah, ya Luh?” Suatu malam perempuan tua itu datang ke kamar Sekar (hlm. 65).
Novel ini pun menceritakan kegiatan-kegiatan para tokoh di griya. Griya adalah tempat tinggal bagi masyarakat Bali kasta brahmana yang merupakan kelompok sosial paling tinggi dalam tatanan masyarakat Bali. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa kutipan berikut.
”Sari tunggu Meme di pura. Meme ingin bicara dengan orang itu. Telaga berbisik pada Sari agar keluar dari griya (hlm. 219).
Tidak biasanya Kenanga datang ke kamar anaknya begitu formal. Apa ini yang dinamakan wilayah kedewasaan, wilayah perempuan sesungguhnya? (hlm. 83).
”Banyak sekali aturannya, Meme!” Telaga berkata sambil merengut. Memeluk bantalnya erat-erat (hlm. 87).

Telaga yang memutuskan untuk menikah dengan Wayan Sasmita akhirnya harus tinggal di rumah suaminya. Telaga yang terbiasa dengan kehidupan griya yang serba mewah berganti menjadi kehidupan di keluarga sudra yang identik dengan kemiskinan dan ia harus menyesuaikan diri dengan keadaan tersebut. Hal ini dapat kita lihat dari kutipan berikut.
Telaga mulai menyalakan api tungku. Asapnya memenuhi dapur yang menghitam itu. Kuku Telaga yang runcing mulai dibalut warna hitam. Di mana-mana hitam. Panci, atap dapur, dinding dapur. Telaga menggigil (hlm. 186).

2. Latar Waktu
      Dalam novel Tarian Bumi ini, Oka Rusmini menggunakan penunjuk waktu tidak tentu. Oka Rusmini cenderung menggunakan kata-kata suatu hari, ketika itu, sejak, sebulan kemudian, seminggu kemudian, malam, pagi, senja, dan sebagainya. Hal ini dapat kita lihat dalam beberapa kutipan berikut.
Telaga masih ingat, ketika itu usianya menjelang sembilan tahun (hlm. 14).
Sejak kematian Ayah, Nenek tidak pernah lagi memaki-maki ibu. Perempuan itu lebih banyak duduk di kursi goyangnya sambil membuat beberapa alat perlengkapan upacara (hlm. 25).
Sebulan kemudian, Nenek, perempuan tua yang selalu memiliki beratus-ratus kata tajam itu, menyusul (hlm. 25).
Suatu hari Sekar datang malam-malam ke biliknya. Wajah perempuan itu terlihat lembab. Dia menubruk Kenten, dan memeluk tubuh perempuan yang berbeda usia lima tahun itu erat-erat. Sekar menangis sepuasnya (hlm. 45).
”Kau berani malam-malam begini ke pura?” (hlm. 49)
Telaga mulai menari. Terus menari, sampai tak terasa lagi sebuah senja miliknya telah hilang, menguap dan digantikan malam. Senja yang selalu membuat Telaga merasa sedih, karena saat menatap langit dia rasakan potret hidupnya bergantung di sana. (hlm. 99-100)
Malam semakin larut. Telaga tetap gelisah. (hlm. 198)

Akan tetapi, dalam novel Tarian Bumi, ditemukan penunjuk waktu tanggal walaupun tidak dikemukakan angka tahunnya yang dapat kita lihat dalam kutipan berikut.
30 September. Telaga mendapatkan sebuah permainan baru. Dia lahir. Seorang perempuan. Matanya benar-benar melambangkan perempuan Bali: bulat dan sangat tajam. Tubuhnya begitu halus. Dia pasti menjadi penari terbaik. Dia akan menari di pura-pura. (hlm. 191-192)

Latar Sosial
Tarian Bumi menceritakan struktur sosial masyarakat Bali yang terbagi atas kasta-kasta dan menimbulkan masalah bagi masyarakatnya. Konflik-konflik yang terjadi dalam Tarian Bumi disebabkan oleh perbedaan latar belakang tokoh yang mengakibatkan adanya perbenturan kelompok sosial berdasarkan pembagian kasta di Bali.
Berdasarkan pernyataan di atas, semua perbenturan tersebut disebabkan oleh adanya peraturan-peraturan yang mengikat warga Bali dalam memperlakukan sesorang sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat. Pembedaan perlakuan ini berkaitan dengan bahasa, pergaulan, gelar sosial, pernikahan, dan lain-lain dalam masyarakat Bali. Adanya aturan-aturan yang membatasi setiap warga masyarakat Bali dapat kita lihat dari beberapa kutipan berikut.
”Sayang, dia seorang brahmana. Andaikata perempuan itu seorang sudra, perempuan kebanyakan, aku akan memburunya sampai napasku habis...” (hlm. 9)
Ibunya memang bukan seorang bangsawan. Ibu Telaga adalah perempuan sudra, perempuan yang kebanyakan yang disunting oleh laki-laki brahmana, laki-laki yang dalam darahnya mengalir keagungan, kebesaran, sekaligus keangkuhan.(hlm. 12)
Karena ayah Telaga memiliki ayah seorang Ida Bagus dan ibunya Ida Ayu[3], kata orang nilai karat kebangsawanannya sangat tinggi. Untuk memanggil laki-laki yang tidak pernah dikenalnya itu Telaga harus menambahkan kata ’Ratu’. Kata orang-orang tua, Telaga memiliki ibu seorang sudra, Telaga harus menambahkan gelar kehormatan itu kepada semua manusia yang ada di griya, termasuk laki-laki yang dalam tubuhnya juga ada sekerat daging Telaga. Sebuah panggilan yang tidak pantas! (hlm. 13)
Perempuan tua dan cantik itu menginginkan seorang menantu yang di depan namanya tertera ’Ida Ayu’. Bukan ’Ni Luh’ seperti dirinya. (Hlm. 67)
Luh Sekar tidak boleh menyentuh mayat ibunya sendiri. Dia juga tidak boleh memandikan dan menyembah tubuh kaku itu. Sebagai keluarga griya, Luh Sekar  duduk di tempat yang tinggi sehingga bisa menyaksikan jalannya upacara dengan lengkap. (hlm. 78-79)
”...Kalau Sari besar nanti, kita tinggalkan Odah[4]...” (hlm. 3)
 ”Menjadi pendeta adat itu harus seorang Ida Ayu yang kawin dengan Ida Bagus.” (hlm. 112)

Dalam masyarakat Bali, kasta yang paling tinggi adalah kasta brahmana. Masyarakat Bali menghormati dan menghargai orang-orang yang kastanya paling tinggi tersebut. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa kutipan berikut.
Ayah nenek seorang pendeta yang memiliki banyak sisia, orang-orang yang setia dan hormat pada griya. Otomatis, sejak mudanya nenek punya kedudukan yang lebih tinggi dan terhormat dibanding perempuan lain di griya (Hlm. 17)
Luh Sekar bangga diangkat sebagai keluarga besar griya. Dia merasa dengan menjadi keluarga besar griya derajatnya lebih tinggi dibanding perempuan-perempuan sudra yang lain. (Hlm. 26)

Karena pentingnya status sosial di Bali yang akan membedakan posisinya dalam masyarakat, maka pernikahan merupakan hal yang penting dalam kehidupan masyarakat Bali. Setelah menikah, orang Bali akan dianggap sebagai warga penuh dari masyarakat sehingga mereka akan memperoleh hak dan kewajiban sebagai seorang warga komunitas dan warga kelompok kerabat. Seorang perempuan yang sudah menikah tidak lagi memiliki kewajiban terhadap keluarga orang tuanya tetapi ia memiliki hak dan kewajiban terhadap keluarga suaminya. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Nenek adalah satu-satunya keturunan yang dimiliki keluarga. Kalau Nenek menikah keluar, tentunya tidak ada yang mengurusi orang tuanya. Akhirnya berkat rapat keluarga besar Nenek harus menikah dengan laki-laki pilihan yang disodorkan keluarga besarnya (Hlm. 22)
Mulai saat itu tanggung jawab keluarga bukan lagi jadi beban Sekar. (Hlm. 73)
 Menurut adat lama yang dipengaruhi oleh sistem klen-klen (dadia) dan sistem kasta (wangsa), perkawinan ideal dilakukan di antara warga se-klen atau antara orang yang dianggap sederajat dalam kasta. Orang-orang se-klen di Bali adalah orang-orang yang setingkat kedudukannya dalam adat, agama, dan kasta.  Hal ini menyebabkan adanya suatu peraturan ketat yang mengatur perkawinan warga masyarakat Bali yang dapat kita lihat dalam kutipan berikut.
Sayang, Nenek tidak tertarik dengan laki-laki yang masih kerabatnya. Kata Nenek, waktu itu semua laki-laki dalam griya sudah dianggap saudara sendiri. Ayah dan ibu Nenek jadi agak kuatir, karena sudah menjadi kebiasaan keluarga bangsawan brahmana menikahkan anaknya dengan sesama kerabat dalam lingkungan griya itu juga. (hlm. 22)
”....Cintanya yang luar biasalah yang menyebabkan tuniang[5]-mu tersiksa. Perempuan itu tidak memiliki kemampuan untuk merebut hati laki-laki yang telah dikawininya. Kau jangan membenci perempuan tua itu, Telaga. Dia sudah terlalu banyak menderita. Dia kecewa pada anak laki-lakinya karena tidak menikah dengan perempuan satu darah. Harusnya anaknya itu mengerti, dia harus menikah dengan seorang Ida Ayu! ” (hlm. 24)
Rasanya ia ingin hari ini juga bersujud di pemerajan, bersyukur pada para leluhur, dewa-dewa, dan ingin berdialog dengan Tuhan karena telah diberikan seorang perempuan paling cantik seperti impiannya. Kenanga seolah dihadapkan pada ambisinya yang lain. Dia berharap kelak seorang Ida Bagus dari keluarga terhormat akan meminang putrinya. Sebuah perkawinan yang agung dan besar. Telaga akan dipinang, diarak para sisia dan masyarakat desa. Impian itu tenggelam ketika Telaga berkata lagi. (hlm. 90-91)
...para lelaki bangsawan tidak sudi mengambil perempuan bukan dari golongannya, karena nilai karat anak yang dilahirkan akan berbeda dengan anak yang dilahirkan seorang Ida Ayu.  (hlm. 105)

Dalam adat Bali, dikenal pula jenis pernikahan nyeburin. Dalam pernikahan ini kedudukan si istri adalah sebagai sentana (penerus keturunan) sehingga kedudukannya menjadi dibalik, laki-laki berperan sebagai istri dan perempuan berperan sebagai suami. Bentuk pernikahan seperti ini digambarkan oleh Oka Rusmini melalui Tarian Bumi yang dapat kita lihat kutipannya sebagai berikut.
”Dengar baik-baik, Kenanga. Hidupku memang tak bersih. Tetapi aku berharap kau bisa memetik sebagian pengalaman hidupku. Menjadi laki-laki berstatus perempuan itu menyakitkan. Kalau saja aku mampu, aku tidak akan nyentanain. Aku tidak lagi memiliki hak seperti layaknya laki-laki. Aku harus mengikuti apa pun kata istriku, karena dia yang meminangku. Dia yang menghendaki aku jadi suaminya. Apa pun kata dia, itulah kebenaran.ini pilihan yang sesungguhnya tidak kuinginkan. Aku perlu hidup, untuk itu aku mengorbankan hidup itu sendiri!” (Hlm. 158)
Laki-laki itu lupa, dia punya seorang anak laki-laki. Dia juga lupa telah beristri. Dia lupa bahwa pernah nyentanain. (Hlm. 18)

Bentuk pernikahan lain yang digambarkan Oka dalam Tarian Bumi adalah bentuk pernikahan antara kasta brahmana dan sudra. Pernikahan bentuk ini dilakukan oleh Ida Bagus Ngurah Pidada dengan Luh Sekar (orang tua Telaga). Setelah pernikahan ini dilakukan, banyak hal yang berubah pada Luh Sekar. Namanya harus berubah menjadi Jero dan ia harus meninggalkan segala hak dan kewajibannya pada keluarganya sebab ia bukan lagi bagian dari keluarga tersebut. Selain itu, semua keluarga dari pihak Luh Sekar harus menempatkannya sebagai orang yang berkasta di atas mereka. Hal ini dapat kita lihat dari kutipan berikut.
Rasa sakit pertama yang harus ditanggungnya, dia tak lagi bisa memakai Ni Luh Sekar. Dia harus membiasakan diri dengan nama baru, Jero Kenanga. Sebuah nama yang harus dikenakannya terus-menerus. Nama yang harus diperkenalkan pada napasnya bahwa itulah napas barunya. Ni Luh Sekar, perempuan sudra itu, telah pergi. Sekarang dia telah mulai reinkarnasi menjadi bangsawan. Kelak, kalau dia mati, rohnya akan menitis dalam tubuh seorang brahmana.
Perempuan itu juga tidak bisa lagi bersembahyang di sanggah, pura keluarganya. Dia juga tidak bisa memakan buah-buahan yang telah dipersembahkan untuk leluhur keluarganya.
Perempuan tua yang sudah tua dan pikun yang telah melahirkan Luh Sekar pun harus berubah. Dia harus menghormati anaknya, karena sekakarang derajat dirinya tidak sama dengan derajat anaknya. Luh Dalem, ibu Luh Sekar, harus memperlakukan anaknya dengan istimewa. Luh Sekar yang sekarang tidak sama dengan anak-anak perempuannya yang lain. Sekar juga tidak boleh makan bersama-sama. Tidak boleh diberi nasi sisa. Semua berubah. Semua harus kembali dipelajarinya dari awal. (hlm. 68-69)
”JERO”  memang nama yang harus dipakai oleh seorang perempuan sudra yang menjadi anggota keluarga griya (hlm. 77)
Sekarang derajat Luh Sekar lebih tinggi dari derajat perempuan yang telah bersusah payah mengandung dan membesarkannya. Pada saat itu dia merasa tak lagi memiliki siapa pun. Tidak keluarga, tidak juga ibunya. Ada jarak yang tidak bisa diterjemahkan lewat kata-kata. (hlm. 74-75)
Sementara dalam keluarga besar suaminya, Sekar tetap dianggap seperti perempuan sudra. Dia harus berbahasa halus dengan orang-orang griya. Tidak boleh minum satu gelas dengan anak kandungnya sendiri. Tidak boleh memberikan makanan sisa makanannya pada orang-orang griya, termasuk anak yang dilahirkannya. (hlm. 76)

Bentuk pernikahan yang dilarang dalam Adat Bali adalah pernikahan antara perempuan triwangsa (brahmana, waisya, dan sudra) dengan laki-laki  jaba (sudra) karena perempuan tersebut akan turun derajatnya mengikuti kasta suaminya serta membawa kesialan bagi keluarga laki-laki sudra yang dinikahinya. Selain itu, bentuk pernikahan ini merupakan aib bagi kedua belah pihak. Hal ini dapat kita lihat dari kutipan berikut.
Ternyata perempuan tua itu tidak berani menerimanya sebagai menantu. Seorang laki-laki sudra dilarang meminang perempuan brahmana. Akan sial jadinya bila Wayan mengambil Telaga sebagai istri. Perempuan sudra itu percaya pada mitos bahwa perempuan brahmana adalah surya, matahari yang menerangi gelap. Kalau matahari itu dicuri, bisakah dibayangkan akibatnya?
”Wayan! Dimana otakmu. Kau akan mengambil junjunanmu sendiri? Orang yang seharusnya kita lindungi dan hormati. Keluarga kita hidup dari keluarga griya. Mereka yang menolong keluarga ini agar bisa tetap makan. Apa doaku sehingga punya anak setolol kamu.”
”Kita tidak berutang, Meme. Kita juga mengerjakan sesuatu untuk mereka.”
”Tutup mulutmu! Apa yang kau ketahui tentang hubunganku dengan keluarga griya? Apa? Beratus-ratus tahun keluargaku mengabdi pada mereka. Sekarang kau hancurkan hubungan yang telah terjalin dengan baik itu. Pikirkan lagi, Wayan. Pikirkan!” Suara Luh Gumbreng terdengar serak. Perempuan itu menangis.
”Tiang tahu ini menyusahkan, Meme. tetapi Meme juga harus mencoba mengerti perasaan tiang. Perasaan Wayan.”
”Meme perempuan kolot, Tugeg. Perempuan kampung. Meme tetap tidak bisa menerima hubungan ini. Aib!” Luh Gumbreng duduk di kursi. Matanya semakin sembab.
Luh Gumbreng merasa kesulitan hidupnya sudah mulai terbuka di depan mata. Dia akan menjadi pergunjingan orang. Setiap dia melakukan gerak, seluruh mata orang desa akan mengikuti geraknya. Bahkan Gumbreng yakin ketika bernapas pun ada mata yang mengikuti.
Sakit sekali dadanya. Kesalahan apa yang telah diperbuatnya sehingga anak laki-laki kesayangannya berniat memasuki malapetaka yang akan terus dijunjungnya tinggi-tinggi? Gumbreng tidak bisa membayangkan apa yang akan dikatakan Jero Kenanga padanya. Perempuan itu pasti akan mengejek dengan sorot  matanya yang tajam dan selalu penuh dengan kemarahan itu. Belum lagi tatapna orang-orang sudra yang menyesali semua aib yang terjadi. Gumbreng menutup mata tuanya. Lelah, lelah sekali.” (hlm. 174-175)
Tiang tahu ini sulit dilakukan. Karena menyangkut harga diri Tukakiang dan nama baik griya. Dengan memberi kebebasan tiang bersembahyang dan pamit di Pemerajanan griya, tiang akan dijadikan contoh, akan menimbulkan masalah, karena akan banyak Ida Ayu yang kawin dengan laki-laki sudra. Ini aib bagi mereka” (hlm. 215)

Selain itu, setelah menikah dengan pria jaba (kasta sudra) maka derajat perempuan menak tersebut berubah mengikuti kasta suaminya menjadi kasta sudra. Ia bukan lagi menjadi bagian dari keluarga griya, maka ia harus pamit pada leluhurnya dan melaksanakan upacara patiwangi agar diterima menjadi perempuan sudra. Hal ini dapat kita lihat dari kutipan berikut.
Telaga tahu, di depan orang-orang griya dia tidak boleh gegabah. Sekarang ini derajatnya sudah tidak sama lagi dengan mereka. Kakek akan jadi omongan  orang kalau sampai kelihatan berbaik hati pada Telaga. Akan merendahkan nama griya, martabat, dan entah apa lagi. (hlm. 195)
Telaga menceritakan bahwa dia harus pamit pada leluhur di griya, karena sekarang dia tidak lagi bagian dari keluarga griya. (hlm. 215)
”Dulu, ketika kau dikawini anak tiang,  kau belum pamit ke griya. Kau juga belum melakukan upacara patiwangi. Aku ingin kau melakukan semua itu. Demi keluarga ini!” Suara Gumbreng mirip perintah. (hlm. 208-209)
Melalui novel Tarian Bumi, Oka Rusmini pun menggambarkan masyarakat Bali yang mempercayai adanya Tuhan (Hyang Widhi), Dewa-dewa, karma, reinkarnasi, dan kekuatan lain di luar kekuatan manusia. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan berikut.
”Ya. Sayang sekali para dewa pilih kasih. Kenapa hanya perempuan bangsawan yang diberi seluruh kecantikan bumi! Apa komentarmu kalau kucuri perempuan itu dari penjagaan ketat para dewa?...” (hlm. 10-11)
”Aku selalu memohon pada dewa-dewa di sanggah agar kau bisa keluar dari lingkaran karmaku.” (hlm. 71)
”Ambil semua taksu yang tiang punya Telaga. Tugeg memang pilihan. Ingat, Tugeg harus rajin membawa sesaji ke Pura setiap bulan terang dan bulan mati. Mohon pada Hyang Widhi  agar Tugeg selalu bisa menari dengan baik” (hlm. 114)
”Siapa tahu orang-orang akan memiliki cerita bahwa kita berdua sedang memperdalam ilmu pengleakan, ilmu hitam. Kau tidak takut?” (hlm. 49)
Sekarang dia telah mulai reinkarnasi menjadi bangsawan. Kelak, kalau dia mati, rohnya akan menitis dalam tubuh seorang brahmana. (hlm. 68)
”Perempuan itu tidak boleh diabenkan. Dia harus dikubur selama 42 hari. Perempuan itu mati salah pati, mati yang salah menurut adat” Luh Sekar, Jero Kenanga muda, marah dan tidak bisa menerima perlakuan itu. Orang-orang mengingatkan bahwa ini soal adat. Kalau adat tidak dilaksanakan, akan timbul wabah bagi generasi desa ini selanjutnya” (hlm. 102-103)
”Kamu jangan bicara ngawur, Sekar. Ini di Pura, aku takut para dewa mendengar pernyataanmu”
”Aku tak peduli! Aku malah berdoa setiap purnama, bulan terang, dan tilem, bulan mati, agar para dewa tahu apa yang kuinginkan!” (hlm. 26-27)
Selain itu, tugas utama bagi perempuan Bali adalah membuat sesaji, sembahyang, dan menari untuk upacara. Menari merupakan hal yang dijadikan sebagai kegiatan  dalam rangkaian ritual ibadah masyarakat Bali. Penari adalah suatu kehormatan dalam kehidupan masyarakat Bali sebab menjadi penari bukanlah hal yang mudah. Ia harus mendapat restu dari dewa Tari. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan berikut.
Tugeg. Tugeg harus catat kata tiang ini. Bagi perempuan Bali bekerja adalah membuat sesaji, sembahyang, dan menari untuk upacara” (hlm. 116)
Sekar ingat, bagaimana perjuangannya untuk menjadi pragina, primadona dalam sekehe, grup joged. Dia benar-benar mengingat setiap peristiwa seperti jalinan-jalinan napas yang dipinjamkan kehidupan kepada dirinya. Sekar tahu diri, sangat tahu diri, menjadi penari joged perlu pawisik para dewa. (hlm. 30)
”Jangan ngawur. Menjadi penari joged itu juga ditentukan para dewa, bukan orang-orang tua desa ini” (hlm. 33)
”Aku marah, Kenten, marah sekali! Tidakkah para tetua adat desa ini menyadari bahwa aku layak jadi penari? Aku layak menjadi perempuan terhormat...” (hlm. 49)
”Menjadi penari itu harus siap berbakti kepada para dewa. Menari harus mampu berdialog dengan jiwa. Kalau Tugeg tidak sanggup melakukannya, jangan pernah bermimpi menjadi seorang penari” (hlm. 94)

Dalam adat Bali pun dikenal dengan berbagai upacara yang harus dilakukan oleh masyrakatnya berkaitan dengan proses hidupnya di dunia ini. Dalam novel ini, Oka Rusmini menggambarkan beberapa bentuk upacara yang dilakukan oleh masyarakat Bali seperti upacara Menek Kelih, Melaspas, dan Patiwangi. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan berikut.
Saat Telaga makin dewasa, terlebih setelah menjalani upacara Menek Kelih, sebuah upacara pembaptisan lahirnya seorang gadis baru, Telaga harus melepaskan kulit kanak-kanaknya. Kulit yang sangat ia cintai. (hlm. 80)
Pada saat upacara melaspas, peresmian pura, gadis-gadis kecil yang tidak bisa menari tiba-tiba saja bisa menari... (hlm. 97-98)
Sebuah sekehe Arja berdiri. Satu upacara lagi dilakukan warga desa. Seluruh penari yang telah dipilih harus menghaturkan daksina, sesaji yang berisi kelapa, telur itik, pisang, beras, dan banyak lagi. Mereka juga melengkapi daksina dengan canang sari, sesaji yang terdiri dari beragam bunga. Semua gadis yang terpilih berdoa. Seminggu kemudian mereka harus mengambil sesaji itu. Semua telur itik dalam sesaji pecah, kecuali milik Kambren. Telur itik itu tetap utuh, bahkan sampai sebulan lebih. Orang-orang desa bergumam, Kambren adalah kekasih dewa tari. (hlm. 98)
Masih satu upacara yang harus dilakukannya agar benar-benar menjadi perempuan sudra. Patiwangi. Pati berarti mati, wangi berarti keharuman. Kali ini Telaga harus membunuh nama Ida Ayu yang telah diberikan hidup padanya. Nama itu tidak boleh dipakai lagi. Tidak pantas. Hanya membawa kesialan bagi orang lain! (hlm. 218)


[1] Singkatan dari Ratu Jegeg, sebutan bagi gadis keturunan kasta brahmana
[2] Sebutan bagi tempat tinggal warga Bali kasta brahmana
[3] Gelar kebangsawanan Bali
[4] Nenek, sebutan bagi kasta sudra
[5] Nenek, sebutan bagi kasta brahmana
 

DAFTAR PUSTAKA

Dhana, I Nyoman, dkk (ed.). 1997. Wujud, Arti dan Fungsi Puncak-puncak Kebudayaan Lama dan Asli bagi Masyarakat Bali. Tidak diterbitkan.
Dwija, Bhagawan. 2005. “Kasta, Caste the Untouchables” dalam www.iloveblue.com (Tanggal 3 Mei).
Hakim, Wildan, Kurniawan. 2000. “Penari Joged itu Menuju Griya” dalam www.detik.com (Tanggal 3 Juli).
NN. 2006. Tarian Bumi: Perempuan, Kasta, dan Pemberontakandalam www.secangkircokelat.blogspot.com (Tanggal 16 Oktober).
NN. 2007. “Kesenian merupakan Fokus Kebudayaan Bali” dalam www.baliantiqueco.tripod.com (Tanggal 8 September).
NN. 2007. “Warga Bali” dalam www.baliantiqueco.tripod.com (Tanggal 8 September).
Prasetya, I Gede E.D. 2004. “Religi” dalam www.student.ukdw.ac.id (Tanggal 27 September).
Rusmini, Oka. 2004. Tarian Bumi. Magelang: Indonesiatera.
Senen, I Wayan. 2005. Perempuan dalam Seni Pertunjukan di Bali. Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta.
Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar