Rabu, 15 Desember 2010

Beberapa Penelitian Istilah Warna


Penelitian istilah warna dalam suatu bahasa telah dilakukan oleh banyak pihak, beberapa penelitian yang akan saya jelaskan pada tulisan kali ini adalah penelitian yang telah dilakukan oleh B. Berlin dan Paul Kay, Harold C. Conklin, Setiowati Darmojuwono, dan Nadra.

1) B. Berlin dan Paul Kay
Melalui penelitiannya, Berlin dan Kay pun menunjukkan sebuah bahasa mengungkapkan dan mengorganisasi istilah warna serta bagaimana bahasa berubah dengan menambahkan istilah warna dalam kosakatanya (Duranti, 1997:65). Berlin dan Kay pun menunjukkan sebelas kategori organisasi warna menurut  hierarki implikasional yang menggambarkan “a<b” diartikan sebagai b mengakibatkan a, yaitu “a is present in every language in which b is present and also in some language in which b is not present” (Berlin dan Kay, 1969:4 dalam Duranti, 1997:65). Hal ini dapat dilihat dalam bagan hierarki implikasional warna dasar sebagai berikut.
 Bagan 2.1 Hierarki Implikasional Warna Dasar B. Berlin dan Kay

Dengan demikian, jika sebuah bahasa memiliki istilah warna red, bahasa tersebut pun harus memiliki istilah warna white dan black, sedangkan warna white dan black dapat muncul dalam bahasa yang tidak memiliki istilah warna red.
Sebagai warna dasar (Berlin dan Kay, 1969: 8 dalam Duranti, 1997: 65 dan Foley, 1997: 153), sebuah warna harus dapat memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut.
a.    The term is monolexemic, that is, the meaning is not derived from the meaning of its parts. Kriteria warna dasar Berlin dan Kay yang pertama ini menjelaskan bahwa makna warna dasar tidak berasal dari makna bagiannya sehingga makna suatu warna tidak dikandung oleh makna bagian dari makna yang terkandung dalam makna nama warna tersebut. Salah satu contoh nama warna yang tidak memenuhi kriteria ini adalah bluish dalam bahasa Inggris (Foley, 1997:153). Bluish dapat diartikan sebagai tinged with blue (Paterson, 2003:64). Dengan demikian, makna kata bluish tidak memenuhi kriteria warna dasar pertama karena makna bluish berasal dari makna bagiannya, yaitu blue, sehingga bluish tidak dapat disebut sebagai warna dasar.
b.    Its meaning is not included in any other kind of color term. Kriteria warna dasar Berlin dan Kay yang kedua ini menjelaskan bahwa makna nama warna tidak termasuk ke dalam nama warna lain sehingga makna nama warna tersebut termasuk dalam beberapa warna. Salah satu contoh nama warna yang tidak memenuhi kriteria ini adalah scarlet dalam bahasa Inggris (Foley, 1997:153). Scarlet, yaitu a bright orange-red (Paterson, 2003:349), merupakan salah satu jenis nama warna dari warna red ‘merah’ (Foley, 1997:153). Dengan demikian, scarlet tidak dapat dikategorikan sebagai warna dasar karena tidak memenuhi kriteria warna dasar Berlin dan Kay, yaitu nama warna terkandung dalam nama warna lain.
c.    Its application should not be restricted to a narrow class of object. Kriteria warna dasar Berlin dan Kay yang ketiga ini menjelaskan bahwa nama warna harus dapat digunakan pada objek yang luas sehingga penggunaannya tidak terbatas pada satu objek yang sempit. Salah satu contoh nama warna yang tidak memenuhi kriteria ini adalah blond (Foley, 1997:153). Blond, yaitu light or fair in colour; especially as regards hair; a light golden colour (Paterson, 2003:55), merupakan nama warna yang digunakan untuk menunjukkan nama warna kayu dan rambut (Foley, 1997:153) sehingga tidak dapat digunakan untuk menyebutkan warna pada pakaian atau benda lain. Dengan demikian, blond tidak dapat dikategorikan sebagai warna dasar karena tidak memenuhi kriteria warna dasar Berlin dan Kay yang ketiga, yaitu nama warna seharusnya tidak digunakan pada objek yang terbatas.
d.   It must be psychologically “salient” for informants. Kriteria warna dasar Berlin dan Kay yang keempat ini menjelaskan bahwa nama warna harus “menonjol dan penting” bagi informan. Contoh pemenuhan kriteria terakhir ini adalah nama warna dasar akan disebutkan pertama kali di antara nama-nama yang lain dan nama tersebut pun dikenal secara luas oleh informan (Foley, 1997:153), misalnya, adanya nama warna beureum bata, beureum getih, beureum cabe, dan beureum ngora dalam bahasa Sunda. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Sunda menganggap warna beureum ‘merah’ sebagai warna yang “menonjol dan penting” sehingga warna beureum dijadikan sebagai dasar dalam memperluas nama warna dalam bahasa Sunda.

2) Harold C. Conklin
Dalam artikelnya yang berjudul “Hanunoo Color Categories”, Harold C. Conklin menjabarkan penelitiannya terhadap penamaan warna pada bahasa Hanunoo (Filipina). Dalam artikel tersebut, Harold C. Conklin menjelaskan bahwa penamaan warna pada bahasa Hanunoo terbagi atas dua level. Pada level pertama, sistem warna bahasa Hanunoo dapat diklasifikasikan secara umum ke dalam empat kelompok besar dengan menambahkan prefix ma- ‘exhibiting, having’ sebagai berikut.
1.         (ma)bi:ru ‘warna-warna yang cenderung gelap (darkness) dan cenderung hitam (blackness)’
2.        (ma)lagti? ‘warna-warna yang cenderung cerah (lightness) dan mendekati putih (whiteness)’
3.        (ma)rara? ‘warna-warna yang mendekati atau cenderung pada warna merah (redness)’
4.        (ma)latuy  ‘warna-warna yang cenderung pada hijau (greenness)’

Sementara itu, pada level kedua, nama-nama warna dibentuk dengan cara mengkhususkan nama warna pada level pertama. Salah satu contoh nama warna dengan pola tersebut adalah mabirubiru ‘agak mabi:ru’, yaitu warna yang satu kelas dengan mabi:ru pada level pertama, tetapi warna tersebut hanya “mendekati” warna dalam kelompok mabi:ru. Selain itu, cara pembentukan nama warna pada level kedua pun dapat dilakukan dengan cara menyebutkan nama objek yang kemudian dimaknai sebagai “warna”, seperti misalnya (ma)dilaw ‘kuning’ (< dilaw ‘kunyit’).

3)      Setiowati Darmojuwono
Penelitiannnya yang berjudul Pengaruh Klasifikasi Semantis Bidang Warna kepada Persepsi Manusia menunjukkan bahwa proses pembentukan konsep mendahului proses penamaan. Hal ini dilihat dari perilaku responden yang mengelompokkan kartu-kartu warna kemudian menamainya dengan membandingkan persamaan atau perbedaan warna antara satu kartu dengan kartu lainnya. Selain itu, penelitian tersebut pun tidak menunjukkan adanya keseragaman penamaan suatu kartu warna pada responden-responden penelitian. Dalam mengelompokkan warna, warna yang secara konsepsional dibedakan, artinya warna yang secara leksikalis tidak mempunyai istilah, tidak menjadi dasar pengelompokkan. Dengan demikian, rangsangan luar yang diterima oleh manusia dikoordinasi oleh manusia dengan bantuan bahasa.
Sementara itu, penelitiannya yang berjudul Kosakata Warna di Kepulauan Seribu menunjukkan bahwa warna biru dan nuansa biru mencerminkan kehidupan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari seorang nelayan yang berkaitan dengan kelautan. Hal ini dapat dilihat dari nuansa warna biru yang memiliki istilah warna paling banyak variasinya. Kemudian, intensitas sinar dibedakan dengan istilah tua dan muda, sedangkan warna inti yang memiliki kejenuhan paling tinggi disebut dengan nama warna + biasa. Sementara itu, nuansa warna diklasifikasikan secara semantis dengan nama warna+nama benda. Penamaan nuansa warna ini menunjukkan bahwa benda yang disebutkan merupakan benda yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan pendapat Sapir yang mengatakan bahwa kosakata suatu bahasa mencerminkan lingkungan penuturnya.

4)      Nadra
Dari hasil penelitiannya yang berjudul Perbandingan Konsep Warna dalam Bahasa Minangkabau Isolek Selayo dengan Isolek Kamang Hilir, dapat disimpulkan bahwa antara Isolek Selayo (ISEL) dan Isolek Kamang Hilir (IKAM) terdapat perbedaan dalam penamaan warna, yaitu kata biru tidak terdapat dalam ISEL, sedangkan kata biru maupun kata ijaw tidak terdapat dalam IKAM (hanya ada kulabu). Untuk menunjukkan perbedaan masing-masing warna dalam kedua isolek, dilakukan dengan cara menunjuk langsung pada bentuk-bentuk yang ada di alam. Di samping itu, ISEL membedakan warna dilakukan dengan cara menambah bentuk tertentu dengan bentuk tuo, manangah, atau lamah, sedangkan IKAM hanya menggunakan bentuk tuo atau mudo. Adanya perbedaan konsep warna tersebut disebabkan oleh perbedaan cara pandang penuturnya terhadap bentuk dan kehidupan alam.

Sumber:
Casson, Ronald W. 1981. Language, Culture, and Cognition: Anthropological Perspectives. New York: Macmillan Publishing Co., Inc.
Conklin, Harold C. 1964. “Hanunóo Color Categories” dalam Language in Culture and Society: A Reader in Linguistics and Anthropology hlm. 189—192.
Darmojuwono, Setiawati. 1989. “Pengaruh Klasifikasi Semantis Bidang Warna kepada Persepsi Manusia” dalam Linguistik Indonesia tahun 7 No. 14 hlm. 33—44.
Darmojuwono, Setiawati. 1994. Laporan Penelitian Kosakata Warna di Kepulauan Seribu. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press
Foley, A. William. 1997. Anthropological Linguistics: An Introduction. Oxford: Blackwell Publisher
Kay, Paul. 1981. “Synchronic Variability and Diachronic Change in Basic Color Terms” dalam Language, Culture, and Cognition: Anthropological Perspectives  hlm. 257—270
Keraf, Gorys. 1990. Linguistik Bandingan Tipologis. Jakarta: Gramedia.
Leech, Geoffrey. 1981. “Colour and Kinship: Two Case Studies in ‘Universal Semantics’” dalam Language, Culture, and Cognition: Anthropological Perspectives  hlm.121—124.
Nadra. 2004. “Perbandingan Konsep Warna dalam Bahasa Minangkabau Isolek Selayo dengan Isolek Kamang Hilir” dalam KOLITA 2 (Konferensi Linguistik Tahunan Atmajaya: Tingkat Internasional) 24—25 Februari 2004 hlm. 169—171.
Paterson, Ian. 2003.  A Dictionary of Color: A Lexicon of the Language of Color. London: Thorogood Publishing Ltd

Tidak ada komentar:

Posting Komentar