Jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu (Fakih, 1997: 7-8). Sementara itu, gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural (Fakih, 1997: 8). Adanya perbedaan, baik biologis maupun gender, mengakibatkan manusia terbagi atas dua kelompok besar, yaitu perempuan dan laki-laki. Adapun pengelompokkan manusia yang akan saya bahas dalam tulisan ini adalah pengelompokkan manusia ke dalam dua kelompok besar, yaitu laki-laki dan perempuan, berdasarkan perbedaan gendernya.
Menurut Ihromi (1995: 76), identitas gender adalah definisi seseorang tentang dirinya, khususnya dirinya sebagai perempuan atau laki-laki, yang merupakan interaksi komplek antara kondisi biologisnya sebagai perempuan atau laki-laki dan berbagai karakteristik perilakunya yang ia kembangkan sebagai hasil proses sosialisasinya. Dasar sosialisasilah yang secara kuat membentuk suatu ideologi yang disebut ideologi gender. Ideologi ini membentuk konstruksi yang melembag sehingga perempuan dan laki-laki dibedakan atas dasar kepantasannya kemudian dibuatkan label yang ditempelkan kepada masing-masing jenis untuk membedakan. Perbedaan dengan jenis label ini menciptakan pandangan stereotip bagi perempuan dan laki-laki (Murniati, 2004: XVIII).
Pandangan stereotip mengaburkan pandangan terhadap manusia secara pribadi karena memasukkan setiap jenis manusia dalam kotak stereotip. Oleh karena itu, seorang pribadi, baik perempuan maupun laki-laki, merasa tidak pantas apabila “keluar dari kotak” tersebut. Ia akan merasa bersalah apabila tidak memenuhi kehendak sosial, yaitu memenuhi label yang telah diciptakan untuk mereka (Murniati, 2004: XVIII—XIX). Dengan demikian, pengelompokkan manusia tersebut menyebabkan adanya perbedaan peran dalam masyarakat yang harus dilakukan kelompok-kelompok tersebut. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003: 854) diterangkan bahwa peran adalah perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat. Dengan demikian, di dalam masyarakat peran laki-laki dan perempuan pun dibedakan berdasarkan tatanan nilai yang berlaku dalam masyarakat mengenai peran laki-laki dan perempuan.
A. Peran Perempuan dalam Sajak “Dua Wanita” dan “Manifesto”
Dalam penelitiannya, Mantik (2006: 123) mengungkapkan adanya konsep perempuan sebagai perempuan, istri, dan ibu. Ketiga konsep tersebut harus hadir secara lengkap pada diri seorang perempuan. Dengan demikian, peranan perempuan pun dapat dilihat dari tiga konsep tersebut, yaitu perempuan berperan sebagai ind ividu, perempuan berperan sebagai istri, dan perempuan berperan sebagai ibu.
1. Peran Perempuan sebagai Individu
Menurut Ihromi (1975: 75), peranan yang terbatas dari perempuan pada umumnya sejalan dengan pembatasan mengenai tempat perempuan, yaitu dia diberi tempat atau fungsi yang ada ikatannya dengan fungsi pengurusan rumah tangga dan fungsinya dalam proses reproduksi (dalam Mantik, 2006: 1). Dengan demikian, ia tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri sebagai ind ividu. Ia seakan diberi sekat untuk berdiam diri di dalam rumah dan bertugas mengurus rumah atau mengurus anak. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan puisi “Dua Wanita” berikut ini.
luas nyaman, kita dapat berdamai di sini
dekat anak-anak yang bermain di lantai
tanggalkan senjata perlengkapan hidup
- keriuhan kota di luar pagar -
Berdasarkan kutipan di atas, kita dapat melihat bahwa perempuan ada dalam suatu tempat yang ada di dalam pagar dan memisahkannya dengan dunia luar. Hal itu dapat dilihat dalam penggunaan kata-kata anak-anak, lantai, senjata perlengkapan hidup, dan keriuhan kota di luar pagar. Hal tersebut semakin menguatkan adanya anggapan bahwa perempuan berorientasi ke dalam (keluarga) (Mantik, 2006: 5), sedangkan laki-laki berorientasi ke luar. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan puisi “Manifesto” berikut ini.
siapa jamin, ia tak berfihak sejak semula
karena dunia, pula semesta, pria yang punya
Jika melihat kutipan di atas, terlihat adanya anggapan dari pihak perempuan bahwa perempuan memang sepantasnya ada di dalam, sedangkan laki-laki berkembang ke luar (masyarakat). Dengan demikian, secara sadar perempuan telah mengukuhkan anggapan masyarakat yang mengungkapkan pembagian peran yang merugikan bagi perempuan. Dengan adanya anggapan tersebut, perempuan pun terlampau disibukkan dengan berbagai tugas untuk memenuhi perannya yang berorientasi ke dalam sehingga kemampuannya secara ind ividu tidak dapat berkembang.
Walaupun perempuan dipisahkan dari dunia luar dan disibukkan dengan berbagai kegiatan yang bersifat domestik, ada perempuan yang tidak merasa terpaksa atau tersiksa dengan keadaan tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan puisi “Dua Wanita” berikut ini.
rumah ini rumah terbuka, terbuka hatiku
lihatlah segala kembang-kembang di meja
- telpon berdering, putuskan saja -
luas nyaman, kita dapat berdamai di sini
dekat anak-anak yang bermain di lantai
tanggalkan senjata perlengkapan hidup
- keriuhan kota di luar pagar -
di sini luas, nyaman dengan hidangan di meja
Akan tetapi, ada juga perempuan yang merasa tersiksa dengan keadaan tersebut. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan puisi “Manifesto” berikut ini.
perkara kecil membelenggu wanita dengan
tetek bengek yang malah disyukuri olehnya
secara serius, dungu dan syahdu –
atau kutipan berikut:
kemudian kau dekritkan: wanita itu pangkal dosa
sebungkah daging, segumpal emosi
sekaligus imbesil dan bidadari
dilipat jari kaki, dikunci pangkal paha
dicadari, gerak-gerik dibebani menjadi
tari lemah gemulai
ia tertunduk karena salah, gentar, patuh
mengecam diri
Dengan demikian, hal ini menunjukkan bahwa perempuan seharusnya memiliki pilihan untuk menentukan hidupnya. Jika perempuan melakukan sesuatu yang tidak didasarkan pada pilihannya, perempuan pun akan merasa tersiksa dengan pilihan yang dipaksakan terhadap perempuan.
Pilihan-pilihan yang diambil oleh perempuan bukanlah pilihan yang bebas mutlak karena sebagai manusia yang terkadang memiliki peran ganda, perempuan pun harus mengorbankan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu. Saat ia memutuskan untuk menjadi perempuan yang berorientasi ke dalam, ia pun harus merelakan keinginan lainya yang ingin seperti angan-angan untuk menjadi individu yang berorientasi ke luar. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan puisi “Dua Wanita” berikut ini.
|
Angan-angan dan keinginannya sebagai individu pun tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alasan sebagai konsekuensi dari pilihan tersebut. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan puisi “Manifesto” berikut ini.
demi anakku laki-laki
tuntutan aku tarik kembali
dan jadi pengkhianat – atau –
memang karena sudah terlambat
Dengan demikian, perempuan seharusnya memiliki banyak pilihan untuk menentukan hidupnya, yaitu individu yang berorientasi ke dalam atau ke luar. Ia tidak seharusnya hanya dihadapkan pada satu pilihan, yaitu sebagai ind ividu yang berorientasi ke dalam sehingga dapat menutupi kelebihannya untuk berkembang ke luar, yaitu menuju ind ividu yang produktif dalam masyarakat, atau sebaliknya. Walaupun demikian, pilihan-pilihan tersebut tentu akan dihadapkan pada berbagai konsekuensi yang mengikuti pilihan-pilihan tersebut.
2. Peran Perempuan sebagai Istri
Pengelompokkan manusia menjadi laki-laki dan perempuan menyebabkan adanya pembagian tugas bagi laki-laki dan perempuan. Nurrachman-Sutojo (1993), di dalam penelitiannya, menemukan bahwa dalam kaitannya dengan suami, perempuan cenderung dilihat sebagai pendamping dan penunjang profesi suami. Hanya sedikit orang yang memandang perempuan sebagai mitra sejajar suami (laki-laki) (dalam Mantik, 2006: 4). Dalam kaitannya sebagai istri, perempuan cenderung mendapat tugas untuk mengurus rumah dan mengurus anak. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan puisi “Dua Wanita” berikut ini.
|
Melalui kutipan di atas, terlihat bahwa perempuan bertugas untuk mengurus rumah dan mengurus anak sehingga keluarga atau rumah tangga tersebut ada dalam kedamaian. Sementara itu, laki-laki merupakan makhluk yang berorientasi ke luar, yaitu bekerja di luar rumah. Hal itu dapat kita lihat dalam kutipan puisi “Manifesto” berikut ini.
kau sibukkan diri dengan permainan:
sepak-bola, billiard, gulat dan perang jihad
ilmu, teknologi karena bebas-kreatif
perang, polusi, proton, neutron
pingpong antara Moskow, Peking dan Washington
Peran perempuan sebagai istri kurang terlihat jelas dalam kedua puisi karya Toeti Heraty tersebut. Akan tetapi, menurut Ihromi (1975), gagasan atau pemikiran baru mengenai perempuan: seyogianya perempuan dianggap sebagai makhluk yang sama derajatnya dengan laki-laki dan gagasan itu harus juga didasari tugasnya dalam rumah tangga, dengan anggapan bahwa suami-istri melaksanakan tugas keluarga bersama-sama sebagai mitra (dalam Mantik, 2006: 2). Dengan demikian, pembagian tugas suami dan istri dalam kehidupan berumah tangga merupakan salah satu upaya untuk saling melengkapi. Tugas perempuan sebagai istri di dalam rumah tersebut merupakan pelengkap tugas suaminya yang bekerja di luar rumah, dan sebaliknya.
3. Peran Perempuan sebagai Ibu
Peranan perempuan, dalam waktu jangka panjang, sangat erat dihubungkan dengan fungsi keibuan sehingga ajaran mengenai sifat yang diwariskan kepada perempuan dibatasi oleh gagasan keibuan. Gambaran ideal mengenai perempuan juga dibatasi oleh fungsi keibuan, dan cita-cita yang diasuhkan terhadap seorang anak perempuan adalah menjadi ibu Mantik, 2006: 19—20). Dalam hubungan sebagai ibu, didapat ciri-ciri perempuan sebagai pendidik anak, generasi muda, umat, dan masyarakat (Mantik, 2006: 5). Dengan demikian, selain sebagai memiliki peran sebagai individu dan istri, perempuan pun memiliki peran sebagai ibu, yaitu sebagai pendidik dan pengasuh anak.
Dalam aspek fisis, citra wanita dewasa merupakan sosok ind ividu yang memiliki kelebihan dibandingkan dengan laki-laki; kelebihan itu misalnya wanitalah yang dapat mengandung, melahirkan, menyusui, dan memelihara secara penuh anak-anaknya. Kenyataan aspek fisis ini sering dijadikan alasan dan dasar bagi penentuan sesuatu yang pantas bagi wanita dan tidak pantas bagi laki-laki, demikian sebaliknya (Sugihastuti, 2000: 151—152). Dengan demikian, kelebihan biologis perempuan ini pun menjadi suatu dasar terhadap adanya anggapan bahwa perempuan merupakan pihak yang bertanggung jawab terhadap pendidikan dan pengasuhan anak. Hal ini pun sesuai dengan kutipan dalam puisi “Manifesto” berikut ini.
Induk Agung, yang melejitkan turunan
makhluk-makhluk kecil, buta, telanjang –
putus digigitnya tali pusar, dijilat bersih
disusukan seksama, kemudian
dijajarkan di seantero jagad raya
begitulah mamalia dipersiapkan
Melalui kutipan di atas, terlihat bahwa seorang perempuan sebagai ibu tidak hanya berfungsi untuk mengandung, melahirkan, dan menyusui anaknya, tetapi juga memelihara secara penuh anaknya sehingga dapat menjadi makhluk yang siap untuk menghadapi pertarungan hidup dalam masyarakat. Walaupun demikian, pihak perempuanlah yang dianggap bertanggung jawab dalam fungsi mengurus dan mendidik anak. Jika anak melakukan suatu kekacauan, perempuan sebagai ibulah yang akan dipersalahkan. Hal ini terlihat dalam kutipan puisi “Manifesto” berikut ini.
perang telah berkecamuk, ekosistem telah buyar
pengungsi di mana-mana, menipu, lapar, terkapar
dan diplomasi jadi lawakan, yang sungguh
tak lucu lagi
sementara
kami telah diam cukup lama, berkorban demi
egomu dan sekian banyak abstraksi
apa wanita kini harus selamatkan dunia
tiba-tiba pembangunan jadi urusan kami juga!
kalian telah kehilangan gengsi
seperti badut yang tunggang-langgang lari
dalam bencana akhirnya panggil ibu juga
Melalui kutipan tersebut, terlihat bahwa perempuanlah yang kemudian akan dipersalahkan atas kekacauan yang dilakukan oleh anaknya. Kemudian, perempuan sebagai ibu diminta untuk memberikan penyelesaian dalam menyelesaikan kekacauan tersebut. Hal ini merupakan pola pembagian tugas yang tidak sejajar antara ayah (laki-laki) dan ibu (perempuan) karena hal tersebut terlalu memberatkan bagi perempuan. Dengan demikian, pandangan tentang hal tersebut harus di ubah, yaitu tanggung jawab dalam mengasuh dan mendidik anak merupakan tanggung jawab ayah dan ibu.
B. KESIMPULAN
Adanya perbedaan, baik biologis maupun gender, mengakibatkan manusia terbagi atas dua kelompok besar, yaitu perempuan dan laki-laki. Hal ini pun menyebabkan adanya perbedaan peran yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan menurut tatanan nilai masyarakat. Dengan demikian, tulisan ini mencoba untuk melihat peranan perempuan yang tergambar dalam puisi “Dua Wanita” dan “Manifesto” karya Toeti Heraty.
Dalam penelitiannya, Mantik (2006: 123) mengungkapkan adanya konsep perempuan, istri, dan ibu yang merupakan tiga konsep yang harus hadir secara lengkap pada diri seorang perempuan. Sebagai ind ividu, perempuan cenderung berorientasi ke dalam (keluarga) sehingga kemampuannya tidak dapat berkembang maksimal sebagai individu yang produktif bagi masyarakat. Dengan demikian, perempuan seharusnya memiliki banyak pilihan untuk menentukan hidupnya, yaitu individu yang berorientasi ke dalam atau ke luar.
Peran perempuan sebagai istri kurang terlihat jelas dalam kedua puisi karya Toeti Heraty tersebut. Akan tetapi, pembagian peran antara suami (laki-laki) dan istri (perempuan) seharusnya dipandang sebagai salah satu upaya untuk saling melengkapi. Tugas istri di dalam rumah tersebut merupakan pelengkap tugas suaminya yang bekerja di luar rumah, dan sebaliknya.
Dalam hubungan sebagai ibu, didapat ciri-ciri perempuan sebagai pendidik anak, generasi muda, umat, dan masyarakat (Mantik, 2006: 5). Dengan demikian, selain sebagai memiliki peran sebagai individu dan istri, perempuan pun memiliki peran sebagai ibu, yaitu sebagai pendidik dan pengasuh anak. Akan tetapi, kelebihan biologis perempuan berupa kemampuan mengandung, melahirkan, dan menyusui ini pun dijadikan dasar terhadap anggapan bahwa perempuan merupakan pihak yang bertanggung jawab terhadap pendidikan dan pengasuhan anak. Hal ini merupakan pola pembagian tugas yang tidak sejajar antara ayah (laki-laki) dan ibu (perempuan) karena hal tersebut terlalu memberatkan bagi perempuan. Dengan demikian, pandangan tentang hal tersebut harus di ubah, yaitu tanggung jawab dalam mengasuh dan mendidik anak merupakan tanggung jawab ayah dan ibu.
DAFTAR PUSTAKA
Mantik, Maria Josephine Kumaat. 2006. Gender dalam Sastra: Studi Kasus Drama Mega-Mega. Jakarta : Wedatama Widya Sastra
Sugihastuti. 2000. Wanita di Mata Wanita: Perspektif Sajak-sajak Toeti Heraty. Bandung : Penerbit Nuansa
Ihromi, T.O. (Peny.). 1995. Kajian Wanita dalam Pembangunan. : Yayasan Obor Indonesia
Fakih, Mansour. 1997. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. : Pustaka Pelajar
Murniati, A. Ninuk P. 2004. Getar Gender. : Indonesiatera
Tidak ada komentar:
Posting Komentar