1. Contoh metafora dan metonimia dalam bahasa Melayu Klasik adalah sebagai berikut:
· Metafora
Metafora adalah penggunaan satu kata konsep ranah dalam konsep ranah yang lain. Proses metafora yang terjadi dalam naskah Sejarah Melayu: Cetera Ketiga ini dapat kita lihat dalam kalimat berikut:
Jikalau tiada diberi beta pergi bermain ke Tanjung Bemban ini, duduk mati, berdiri mati, serba mati.
Kata mati dapat diartikan sebagai 1 sudah hilang nyawanya; tidak hidup lagi; 2 yang tak pernah hidup (1961: 578). Akan tetapi, dalam naskah tersebut, kata mati tidak dapat diartikan sebagai makna yang terdapat dalam kamus tersebut. Menurut saya, kata mati dapat diartikan sebagai rasa bosan sehingga tidak ingin melakukan apa-apa seperti orang yang sudah mati. Dengan demikian, peristiwa kebahasaan tersebut dapat disebut sebagai metafora karena konsep kata mati digunakan dalam konsep ranah lain, yaitu bermakna bosan.
· Metonimia
Metonimia adalah penggunaan satu kata bagian dari sebuah konsep untuk mengungkapkan semua bagian dari sebuah konsep. Proses metonimia yang terjadi dalam naskah Sejarah Melayu: Cetera Ketiga ini dapat kita lihat dalam kalimat berikut:
Nila Utama hendak pergi beramai-ramaian ke Tanjung Bemban, hendak membawa perempuan baginda.
Kata perempuan diartikan sebagai 1 jenis sebagai laki-laki lw laki-laki; wanita; 2 bini (1961: 677). Kata perempuan dapat diartikan menjadi dua makna, sebagai jenis kelamin manusia dan istri. Akan tetapi, makna kata perempuan dalam teks tersebut adalah istri atau bini yang berjenis kelamin perempuan. Seorang istri pasti berjenis kelamin perempuan, tetapi perempuan belum tentu dapat disebut sebagai istri karena ada hal-hal yang harus dipenuhi oleh perempuan yang disebut istri, yaitu menikah atau bersuami. Dengan demikian, penggunaan kata perempuan yang bermakna sebagai bini; istri merupakan proses metonimia, yaitu kata sebagian (istri) diwakili oleh kata yang merujuk kata keseluruhan (perempuan).
2. Pola silabe kata-kata bahasa Melayu Klasik adalah cenderung terdiri atas dua suku kata dan berpola KV dan KVK. Dari penelusuran terhadap 50 kata dasar dalam Sejarah Melayu: Cetera Ketiga, 82% atau 41 kata terdiri atas 2 suku kata, 14% atau 7 kata terdiri atas 3 suku kata, dan 4% atau 2 kata terdiri atas 4 suku kata. Selain itu, kecenderungan pola suku kata-kata dalam bahasa Melayu Klasik berpola KV dan KVK. Adapun penghitungan kemunculan pola-pola suku kata dalam kata bahasa Melayu Klasik dapat dilhat dalam tabel berikut ini.
No | Pola | S kemunculan | Persentase |
1 | V | 4 | 4 |
2 | KV | 59 | 54 |
3 | VK | 6 | 5 |
4 | KVK | 38 | 34 |
5 | KVV | 3 | 3 |
Jumlah | 104 | 100% |
Berdasarkan tabel di atas, kecendrungan pola suku kata dalam bahasa Melayu Klasik adalah pola KV dan KVK. Hal ini dapat dilihat dari persentase kemunculan pola tersebut yang cukup besar, yaitu kemunculan pola KV sebesar 54% dan kemunculan pola KVK sebesar 34%, sedangkan kemunculan pola-pola lain, yaitu V, VK, dan KVV sangat kecil bahkan di bawah 10% dari pola suku kata yang ada, yaitu kemunculan pola V sebesar 4%, kemunculan pola VK sebesar 5%, dan kemunculan pola KVV sebesar 3%.
3. Adapun imbuhan yang muncul dalam Sejarah Melayu: Cetera Ketiga adalah 13 imbuhan, yaitu meng-, di-, ter-, ber-, peng-, per-, se-, -kan, -i, -an, ber-an, per-an, dan ke-an. Imbuhan di- dan ber- adalah imbuhan yang paling tinggi kemunculannya, yaitu 18,2% atau muncul sebanyak 17 kali dari 93 kata berimbuhan, sedangkan imbuhan se- dan peng- adalah imbuhan yang paling rendah kemunculannya, yaitu 1,1% atau muncul sebanyak 1 kali dari 93 kata berimbuhan dalam Sejarah Melayu: Cetera Ketiga. Hal ini dapat kita lihat dalam tabel berikut ini.
no | Afiks | Σ | % | no | Afiks | Σ | % | |
1. | meng- | 12 | 12.9% | 8. | -kan | 9 | 9,7% | |
2. | di- | 17 | 18,2% | 9. | -i | 4 | 4,3% | |
3. | ter- | 8 | 8,6% | 10. | -an | 6 | 6,5% | |
4. | ber- | 17 | 18,2% | 11. | ber-an | 4 | 4,3% | |
5. | peng- | 1 | 1,1% | 12. | per-an | 4 | 4,35% | |
6. | per- | 3 | 3,2% | 13. | ke-an | 7 | 7,6% | |
7. | se- | 1 | 1,1% |
Selain itu, afiks pembentuk verba intransitif, yaitu verba yang menghindarkan objek (Kridalaksana, 1999:69), dalam bahasa Melayu Klasik yang sering dipakai adalah afiks meng-, ber-, ter-, dan tanpa afiks. Akan tetapi, afiks pembentuk verba intransitif yang sering dipakai dalam Sejarah Melayu: Cetera Ketiga adalah afiks ber-. Hal ini sesuai dengan penghitungan kemunculan imbuhan meng-, ber-,dan ter-, dalam Sejarah Melayu: Cetera Ketiga yang dihitung berdasarkan kemunculannya dalam Sejarah Melayu: Cetera Ketiga tanpa menghitung pengulangan bentuk verba yang sama seperti dapat dilihat dalam tabel berikut.
No | Imbuhan | Kata yang muncul | S | % |
1 | meng- | menyeberang, membuang, menengar | 3 | 17,6 |
2 | ber- | berkasih-kasihan, beramai-ramaian, bermain, berlengkap, bertiang, bermasak-masak, berlari, berhambat-hambatan, berburu, berjalan, berkampung. | 11 | 64,8 |
3 | ter- | terserandung, terhampar, terbela | 3 | 17,6 |
Jumlah | 17 | 100 |
Berdasarkan data dalam tabel di atas, terlihat bahwa persentase tertinggi kemunculan afiks meng-, ber-,dan ter-, sebagai afiks pembentuk verba intransitif adalah afiks ber-, yaitu sebesar 64,8%.
4. Posisi subjek dan predikat pada kalimat aktif dalam bahasa Melayu Klasik adalah S-P atau predikat kalimat terletak belakang subjeknya. Selain itu, predikat yang dipakai dalam kalimat aktif berimbuhan meng- dan ber-. Hal ini dapat kita lihat dalam contoh kalimat aktif dalam Sejarah Melayu: Cetera Ketiga berikut ini.
· Maka permaisuri pun menyuruh berlengkap pada Indera Bupala…
S P O
pelaku perbuatan penderita
· Maka baginda pun bermohon kepada bonda baginda
S P K
pelaku perbuatan penderita
Berdasarkan kedua contoh di atas, kita dapat melihat bahwa subjek yang merupakan pelaku dalam perbuatan dalam predikat terletak di depan predikatnya.
Akan tetapi, hal ini berbeda dengan posisi subjek dan predikat pada kalimat pasif. Posisi predikat kalimat pasif dalam bahasa Melayu Klasik terletak di depan subjeknya. Selain itu, predikat dalam kalimat pasif biasanya berimbuhan di-, diper-, dan ter-. Hal ini dapat kita lihat dalam contoh kalimat pasif dalam Sejarah Melayu: Cetera Ketiga berikut ini.
· Maka kenaikan itupun dikepilkan oranglah
O P S
alat perbuatan pelaku
· Maka diperhambat oleh Sang Nila Utama…
P S
perbuatan pelaku
· Maka terlalulah sukacita segala dayang-dayang itu
P S
keadaan pelaku
Berdasarkan contoh kalimat di atas, posisi subjek di dalam kalimat pasif dalam Sejarah Melayu: Cetera Ketiga terletak di belakang predikatnya. Hal ini dapat dilihat dari pelaku perbuatan tersebut yang diletakkan di belakang predikatnya seperti contoh-contoh di atas tersebut. Walaupun demikian, di dalam Sejarah Melayu: Cetera Ketiga masih ditemukan posisi subjek dan predikat yang tidak sesuai dengan pola di atas, yaitu kalimat pasif yang tidak berpola P-S, tetapi berpola S-P. Hal ini dapat kita lihat dalam contoh berikut ini.
Maka baginda terlalu suka melihat kelakuan dayang-dayang bermain itu
S P O
pelaku keadaan sasaran
Daftar Pustaka:
Kridalaksana. 1999. Sintaksis: Tata Bahasa Deskriptif Bahasa Indonesia. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Poerwadarminta. 1961. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Poerwadarminta. 1966. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar