Selasa, 21 Desember 2010

Situasi Kebahasaan di Depok


Kota Depok terletak disebelah Barat/Utara wilayah Kabupaten Dati II Bogor dan berbatasan langsung dengan Wilayah DKI Jakarta, Kabupaten Tanggerang dan Kabupaten Bekasi. Secara Administratif Kota Depok mempunyai batas-batas sebagai berikut :
a.       Sebelah Utara berbatasan dengan DKI Jakarta dan Kecamatan Ciputat Kabupaten Tanggerang.
b.      Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Bojong Gede dan Cibinong Kabupaten Bogor.
c.       Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Gunung Sindur dan Parung Kabupaten Bogor.
d.      Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Gunung Putri Kabupaten bogor dan Kecamatan Pondok Gede Kota Bekasi.
Secara geografis, Kota Depok terletak pada koordinat 6o 19’ 00” – 6o 28’ 00” LS dan 106o 43’ 00” – 106o  55’ 30” BT. Bentang alam Kota Depok dari selatan ke utara merupakan daerah dataran rendah, perbukitan bergelombang lemah, dengan elevasi antara 50140 meter di atas permukaan laut dan kemiringan lerengnya kurang dari 15%. Kota Depok sebagai wilayah termuda di Jawa Barat, mempunyai luas wilayah sekitar 200,29 km2.
Kondisi geografisnya dialiri oleh sungai-sungai besar yaitu Sungai Ciliwung dan Cisadane serta 13 Subsatuan Wilayah Aliran Sungai. Selain itu, terdapat pula 25 situ. Data luas situ pada tahun 2005 sebesar 169,68 Ha dengan  kualitas air rata-rata buruk akibat tercemar. Kondisi topografi berupa dataran rendah bergelombang dengan kemiringan lereng yang landai menyebabkan masalah banjir di beberapa wilayah, terutama kawasan cekungan antara beberapa sungai yang mengalir dari selatan menuju utara: Kali Angke, Sungai Ciliwung, Sungai Pesanggrahan dan Kali Cikeas.
Kondisi wilayah Kota Depok Merupakan tanah darat dan tanah sawah. Sebagian besar tanah darat merupakan areal pemukiman sesuai dengan fungsi kota Depok yang dikembangkan sebagai pusat pemukiman, pendidikan, perdagangan, dan jasa. Selain itu, Kota Depok merupakan dataran landai dengan rata-rata ketinggian 121 m dari permukaan laut dan merupakan daerah resapan air bagi DKI Jakarta
Nama Depok sudah dikenal dunia sejak abad ke-17 ketika Indonesia masih dikuasai oleh VOC. Pada masa prakolonial, Depok merupakan pusat perguruan prajurit Banten untuk melawan Kerajaan Pajajaran karena pada tahun 1522 Raja Surawisesa mengadakan perjanjian dengan Portugis, yang sangat ditentang oleh kerajaan-kerajaan pesisir yang telah memeluk Islam. Pada masa kolonial, Depok dikenal karena Cornelis Chastelein seorang pejabat Kompeni mengusahakan pertanian di wilayah Depok ini yang menjadikan Depok sebagai penyangga kebutuhan pokok sehari-hari warga Batavia pada masa itu. Pada Masa kolonial Depok juga merupakan tempat menuntut ilmu calon pendeta. Kemudian, pada tahun 1871 diberlakukan Undang-Undang Agraria tahun 1870 (Agrarische Wet) sehingga Depok ditetapkan sebagai daerah otonom di bawah keresidenan Bogor dengan kepala daerah seorang Presiden yang dibantu oleh seorang sekretaris, bendahara, dan dua orang komisi.
Pemerintahan seperti itu berlaku hingga tahun 1942. Gemeente Depok diperintah oleh seorang presiden sebagai badan tertinggi yang membawahi mandat (9 mandor) dan dibantu oleh para Pencalang Polisi Desa serta Kumitir (Menteri Lumbung). Daerah teritorial Gemeente Depok meliputi 1.244 hektar. Setelah perjanjian pelepasan hak antara Pemerintah RI dengan pimpinan Gemeente Depok pada tahun 1952, wilayah tersebut berubah. Pada tahun 1976 mulai dibangun perumahan di lingkungan Kawedanan Parung. Perumahan tersebut terus berkembang hingga akhirnya pada tahun 1981 pemerintah membentuk Kota Administratif Depok berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1981. Peresmiannya dilakukan pada tanggal 18 Maret 1982 oleh Menteri dalam Negeri (H. Amir Machmud) dengan pembagian menjadi 3 (tiga) kecamatan dan 17 (tujuh belas) desa, yaitu :
1.      Kecamatan Pancoran Mas, terdiri dari 6 (enam) Desa, yaitu Desa Depok, Desa Depok Jaya, Desa Pancoram Mas, Desa Mampang, Desa Rangkapan Jaya, Desa Rangkapan Jaya Baru.
2.      Kecamatan Beji, terdiri dari 5 (lima) Desa, yaitu : Desa Beji, Desa Kemiri Muka, Desa Pondok Cina, Desa Tanah Baru, Desa Kukusan.
3.      Kecamatan Sukmajaya, terdiri dari 6 (enam) Desa, yaitu : Desa Mekarjaya, Desa Sukma Jaya, Desa Sukamaju, Desa Cisalak, Desa Kalibaru, Desa Kalimulya.
Dengan melihat perkembangan Depok serta berdasarkan UU No. 15 tahun 1999, dibentuklah Kotamadya Daerah Tk. II Depok yang ditetapkan pada 20 April 1999, dan diresmikan tanggal 27 April 1999. Wilayah Kota Depok meliputi wilayah Kota Administratif Depok ditambah sebagian wilayah Kabupaten  Daerah Tingkat II Bogor, yaitu Kecamatan Cimanggis, Kecamatan Sawangan, Kecamatan Limo, serta lima desa di Kecamatan Bojong Gede.
Berdasarkan Perda Kota Depok Nomor 08 Tahun 2007, Kota Depok dimekarkan menjadi 11 kecamatan. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah koordinasi sehingga berdampak pada suksesnya program-program yang dicanangkan. Kecamatan dan kelurahan hasil pemekaran tersebut sebagai berikut.
1.      Kecamatan Beji terdiri dari Kelurahan Beji, Kelurahan Beji Timur, Kelurahan Kemiri Muka, Kelurahan Pondok Cina, Kelurahan Kukusan, dan Kelurahan Tanah Baru.
2.      Kecamatan Pancoran Mas terdiri dari Kelurahan Pancoran Mas, Kelurahan Depok, Kelurahan Depok Jaya, Kelurahan Rangkapan Jaya, Kelurahan Rangkap Jaya Baru, dan Kelurahan Mampang.
3.      Kecamatan Cipayung terdiri dari Kelurahan Cipayung, Kelurahan Cipayung Jaya, Kelurahan Ratu Jaya, Kelurahan Bojong Pondok Terong, dan Kelurahan Pondok Jaya.
4.      Kecamatan Sukmajaya terdiri dari Kelurahan Sukmajaya, Kelurahan Mekarjaya, Kelurahan Baktijaya, Kelurahan Abadijaya, Kelurahan Tirtajaya, dan Kelurahan Cisalak.
5.      Kecamatan Cilodong terdiri dari Kelurahan Sukamaju, Kelurahan Cilodong, Kelurahan Kalibaru, Kelurahan Kalimulya, dan Kelurahan Jatimulya.
6.      Kecamatan Limo terdiri dari Kelurahan Limo, Kelurahan Meruyung, Kelurahan Grogol, dan Kelurahan Krukut.
7.      Kecamatan Cinere terdiri dari Kerurahan Cinere, Kelurahan Gandul, Kelurahan Pangkal Jati Lama, dan Kelurahan Pangkal Jati Baru.
8.      Kecamatan Cimanggis terdiri dari Kelurahan Cisalak Pasar, Kelurahan Mekarsari, Kelurahan Tugu, Kelurahan Pasir Gunung Selatan, Kelurahan Harjamukti, dan Kelurahan Curug.
9.      Kecamatan Tapos terdiri dari Kelurahan Tapos, Kelurahan Leuwinanggung, Kelurahan Sukatani, Kelurahan Sukamaju Baru, Kelurahan Jatijajar, Kelurahan Cilangkap, dan Kelurahan Cimpaeun.
10.  Kecamatan Sawangan terdiri dari Kelurahan Sawangan, Kelurahan Kedaung, Kelurahan Cinangka, Kelurahan Sawangan Baru, Kelurahan Bedahan, Kelurahan Pengasinan, dan Kelurahan Pasir Putih.
11.  Kecamatan Bojongsari terdiri dari Kelurahan Bojongsari, Kelurahan Bojongsari Baru, Kelurahan Serua, Kelurahan Pondok Petir, Kelurahan Curug, Kelurahan Duren Mekar, dan Kelurahan Duren Seribu.
Penduduk Depok merupakan percampuran antara penduduk asli dan penduduk pendatang. Penduduk asli merupakan suku Betawi yang sudah menetap di wilayah Depok sejak masa kolonial. Pada tahun 50-an ketika terjadi penggusuran lahan di wilayah DKI Jakarta, banyak warga Jakarta yang dipindahkan ke Depok. Mereka yang sebagian merupakan suku Sunda dan Jawa menempati beberapa lokasi di wilayah Depok. Seiring perkembangan zaman, semakin tinggi tingkat urabanisasi di Indonesia. Depok sebagai wilayah penyangga ibu kota negara menjadi salah satu tujuan urbanisasi. Oleh karena itu, penduduk Depok pun semakin beragam dari berbagai suku bangsa di Indonesia.

BSituasi Kebahasaan di Depok
Untuk memudahkan penelitian ini, penulis membagi wilayah Depok menjadi 11 titik pengamatan, yaitu :
(1) Kelurahan Mampang, Kecamatan  Pancoran Mas,
(2) Kelurahan  Beji, Kecamatan Beji,
(3) Kelurahan  Mekarjaya , Kecamatan Sukmajaya,
 (4) Kelurahan Cipayung Jaya, Kecamatan Cipayung,
 (5) Kelurahan Sawangan Lama, Kecamatan Sawangan,
(6) Kelurahan Meruyung,  Kecamatan Limo,
(7) Kelurahan Gandul, Kecamatan Cinere,
 (8) Kelurahan Tugu, Kecamatan Cimanggis,
(9) Kelurahan Jatijajar, Kecamatan Tapos,
(10) Kelurahan Jati Mulya, Kecamatan Cilodong, dan
(11) Kelurahan Bojong Baru, Kecamatan Bojongsari.
Penelitian ini dilakukan dengan cara pengambilan data secara langsung, yaitu dengan metode wawancara kepada penduduk asli dari setiap titik pengamatan. Oleh karena itu, untuk setiap titik pengamatan, penulis mewawancarai  dua responden. Adapun daftar pertanyaan yang digunakan adalah 200 kata dasar Swadesh ditambah dengan 11 kata ganti, sapaan, dan acuan, serta 25 kata sistem kekerabatan. Kata-kata tersebut merupakan daftar tanyaan yang digunakan untuk mewawancarai responden. Akan tetapi, dalam tulisan ini, penulis hanya akan membahas 22 kata yang terdapat dalam daftar kosakata dasar Swadesh, yaitu lutut, main, makan, malam, mata, matahari, mati, merah,mereka, minum, mulut, muntah, nama, napas, nyanyi, orang, panas, panjang, pasir, pegang, pendek, dan peras.
Adapun dalam menganalisis data-data yang diperoleh, penulis menggunakan berkas isoglos dan penghitungan dialektometri. Isoglos adalah salah satu alat para ahli dialektologi untuk menganalisis distribusi gejala kebahasaan. Isoglos merupakan sebuah garis imajiner yang diterakan di atas sebuah peta (Lauder, 2007 : 92). Akan tetapi, jika menilik lebih jauh lagi ke perhitungan dialektometri, akan terlihat adanya kecenderungan yang sejajar dengan hasil berkas isoglos. Hanya saja ketebalan garis-garis berkas isoglos itu sekadar membantu melihat distribusi dan pembagian secara kasar. Apabila ingin melihat pembagian yang lebih teliti haruslah digunakan hasil perhitungan dialektometri (Lauder, 2000: 57).
 Menurut Revier (1975), dialektometri merupakan ukuran secara statistik yang digunakan untuk melihat seberapa jauh perbedaan dan persamaan yang terdapat di tempat-tempat yang diteliti dengan membandingkan sejumlah bahan yang terkumpul dari tempat yang diteliti tersebut (dalam Ayatrohaedi, 1979: 31). Rumus penghitungan yang digunakan adalah rumus penghitungan yang diajukan oleh Séguy (dalam Lauder, 2007: 96), yaitu:

(s x 100)
- d%

Ket:
s = jumlah beda dengan titik pengamatan lain
n


n = jumlah peta yang diperbandingkan




d = jarak kosakata dalam %





 Menurut Guiter (1973), jika menghasilkan persentase di bawah 20%, dianggap tidak memiliki perbedaan; antara 21—30%, dianggap memiliki perbedaan wicara (parler); antara 31—50%, dianggap memiliki perbedaan subdialek (sous dialecte); antara 51—80%, dianggap memiliki perbedaan dialek (dialecte); dan antara 81—100%, dianggap sudah mewakili dua bahasa (langue) yang berbeda (dalam Lauder, 2007:96).
Hasil penghitungan dialektometri antartitik pengamatan terhadap 22 kata dalam daftar kosakata dasar Swadesh dapat dilihat dalam tabel berikut ini.
Titik pengamatan
Persentase

Titik pengamatan
Persentase
1:2
14%

3:9
14%
1:4
18%

3:10
18%
1:5
9%

4:5
23%
1:6
5%

4:10
9%
2:3
14%

5:6
9%
2:4
18%

5:11
9%
2:6
9%

6:7
5%
2:7
5%

6:11
5%
2:8
32%

7:8
27%
3:4
18%

8:9
36%
3:8
27%

9:10
27%

Berdasarkan hasil penghitungan di atas, situasi kebahasaan di Depok adalah sebagai berikut:
a.       Kelurahan-kelurahan yang memperlihatkan kesamaan adalah:
1:2
Mampang : Beji
3:4
Mekarjaya : Cipayung Jaya
1:4
Mampang : Cipayung Jaya
3:9
Mekarjaya : Jatijajar
1:5
Mampang : Sawangan Lama
3:10
Mekarjaya : Jati Mulya
1:6
Mampang :  Meruyung
4:10
Cipayung Jaya : Jati Mulya
2:3
Beji : Mekarjaya
5:6
Sawangan Lama : Meruyung
2:4
Beji : Cipayung Jaya
5:11
Sawangan Lama : Bojong Baru
2:6
Beji : Meruyung
6:7
Meruyung : Gandul
2:7
Beji : Gandul
6:11
Meruyung : Bojong Baru

b.      Kelurahan-kelurahan yang memperlihatkan perbedaan wicara adalah:
3:8
Mekarjaya : Tugu
7:8
Gandul : Tugu
4:5
Cipayung Jaya : Sawangan Lama
9:10
Jatijajar : Jati Mulya

c.       Kelurahan-kelurahan yang memperlihatkan perbedaan subdialek adalah:
2:8
Beji : Tugu
8:9
Tugu : Jatijajar

Hasil penghitungan dialektometri menunjukkan bahwa terdapat satu bahasa di Depok. Hal ini dapat dilihat dari persentase dialektometri antartitik pengamatan yang berada di bawah 80%, bahkan persentase tertinggi hanya mencapai 36% di titik pengamatan 8 (Tugu) dan 9 (Jatijajar). Dengan demikian, tingkat kesamaan bahasa-bahasa yang dipakai di daerah Depok sangat tinggi sehingga status bahasa-bahasa tersebut hanyalah sebagai subdialek dari bahasa yang digunakan oleh masyarakat Depok.
Perbedaan variasi bahasa yang cukup besar adalah antara titik 8 (Tugu) dan titik 9 (Jatijajar), yaitu sebesar 36%. Perbedaan tersebut mungkin disebabkan oleh adanya daerah perindustrian serta padang golf di wilayah Kecamatan Tapos. Dengan demikian, adanya daerah perindustrian dan padang golf tersebut memisahkan komunikasi bahasa di dua titik pengamatan tersebut sehingga perbedaan variasi bahasa di dua titik pengamatan itu menjadi cukup besar.
Perbedaan variasi bahasa yang cukup besar lainnya adalah antara titik 2 (Beji) dan 8 (Tugu), yaitu sebesar 32%. Perbedaan tersebut mungkin disebabkan adanya jalur rel kereta api dan Universitas Indonesia. Dengan demikian, adanya jalur rel kereta api dan Universitas Indonesia menyebabkan masyarakat Beji dan Tugu jarang berkomunikasi sehingga variasi bahasa di kedua titik pengamatan tersebut memiliki perbedaan yang cukup besar.
Perbedaan variasi bahasa yang cukup besar lainnya adalah antara titik 3 (Mekarjaya) dan 8 (Tugu), yaitu sebesar 27%. Perbedaan tersebut mungkin disebabkan oleh adanya Jalan Ir. H. Juanda dan wilayah Kelurahan Bakti Jaya, Kecamatan Sukmajaya yang memisahkan kedua titik pengamatan tersebut.
Perbedaan variasi bahasa yang cukup besar lainnya adalah antara titik 7 (Gandul) dan 8 (Tugu), yaitu sebesar 27%. Perbedaan tersebut mungkin disebabkan oleh adanya Universitas Indonesia, jalur rel kereta api, dan Jalan Margonda yang memisahkan kedua titik pengamatan tersebut.
Perbedaan bahasa yang cukup besar lainnya adalah antara titik 9 (Jatijajar) dan 10 (Jati Mulya), yaitu sebesar 27%. Perbedaan tersebut mungkin disebabkan oleh adanya Situ Cilogong, Situ Baru, dan Jalan Raya Bogor yang memisahkan kedua titik pengamatan tersebut.
Perbedaan variasi bahasa yang cukup besar lainnya adalah antara titik 4 (Cipayung Jaya) dan 5 (Sawangan Lama)¸ yaitu sebesar 23%. Perbedaan tersebut mungkin disebabkan oleh adanya Jalan Raya Sawangan, kawasan industri, dan Sawangan Golf and Country yang memisahkan kedua titik pengamatan tersebut.
Dengan demikian, keadaan alam dan lingkungan masyarakat dapat mempengaruhi bahasa yang digunakan oleh masyarakat tersebut. Walaupun terletak dalam kota yang sama, beberapa titik pengamatan menunjukkan adanya variasi bahasa yang berbeda dengan titik pengamatan lainnya. Hal ini dapat terjadi karena jarangnya komunikasi antara dua titik pengamatan tersebut karena dipengaruhi oleh faktor alam dan lingkungan daerah tersebut, misalnya adanya jalan raya, universitas, situ, dan jalur rel kereta api yang memisahkan kedua titik pengamatan. Oleh karena itu, masyarakat di dua titik pengamatan yang terpisah oleh jalan, universitas, atau rel tersebut menjadi jarang berkomunikasi. Hal ini menyebabkan adanya variasi bahasa yang cukup tinggi di kedua titik pengamatan tersebut yang tampak dari persentase perhitungan dialektometri bahasa di titik-titik pengamatan tersebut.

Daftar Pustaka
Ayatrohaedi. 1979. Dialektologi: Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Lauder, Multamia RMT, dkk. 2000. Penulisan Kekerabatan dan Pemetaan Bahasa-Bahasa Daerah di Indonesia: Propinsi Nusa Tenggara Timur. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
Lauder, Multamia RMT. 2007. Sekilas Mengenai Pemetaan Bahasa. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.
NN. 2009. “Sejarah Kota Depok” dimuat dalam www.depok.go.id (28 Desember)
NN. 2009. “Informasi Pemekaran Kecamatan di Kota Depok” dimuat dalam www.depok.go.id (28 Desember)
Suratminto, Lilie. 2007. “Depok dari Masa Prakolonial ke Masa Kolonial Model Otda A La Chastelein dan Perkembangannya,” disampaikan pada Seminar ”Quo Vadis Depok? Peluang dan Tantangan,” 5-8 September, di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
 http://maps.google.co.id/maps?q=depok&oe=utf-8&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a&um=1&ie=UTF-8&sa=N&hl=id&tab=wl

Tidak ada komentar:

Posting Komentar