Kegiatan manusia dalam menamakan sesuatu dapat dikatakan sebagai proses berbahasa karena melalui bahasa manusia “menunjuk dunianya”. Manusia memberi nama-nama pada apa yang masuk dalam lingkungan pengamatannya. Serentak dengan pemberian nama itu, ia pun memberi arti pada objek-objek pengamatannya. Oleh sebab itu, “nama benda” adalah pertanda paling asasi bahwa manusia adalah makhluk yang cenderung memberi nama pada benda-benda yang memperoleh arti dalam lingkungan hidupnya (Hassan, 1852: 134).
Donald Davey (1980:50 dalam Darmaprawira, 2002: 52—53) pun berpendapat bahwa perkembangan lingkungan budaya masyarakat ternyata mempengaruhi perkembangan “kamus warna”. Penduduk padang pasir, misalnya, memiliki perbendaharaan nama warna yang cukup banyak serta rentangan yang cukup luas untuk warna kuning sampai coklat yang mendekati warna pasir. Orang Eskimo pun mempunyai perbendaharaan nama-nama untuk warna es dan salju. Sementara itu, orang Maori di Selandia Baru mempunyai nama lebih dari seratus untuk warna merah, serta mempunyai perbedaharaan yang banyak mengenai warna tumbuhan berdasarkan umur dan ukuran pertumbuhannya. Selain itu, mereka mempunyai koleksi 40 nama warna awan berdasarkan formasinya di langit. Sementara itu, warna jingga pun baru dikenal di Eropa sejak masyarakat Eropa mengetahui bahwa jeruk (Inggris: orange) dapat dimakan, yaitu sekitar abad XI M (Darmaprawira, 2002: 54).
Kay, Mc. Daniel dan Chad (1978: 611 dalam Darmojuwono, 1989: 35) berpendapat bahwa secara fisikalis gelombang-gelombang warna bersifat universal, artinya semua orang yang tidak cacat organ tubuhnya berkaitan dengan persepsi warna, mampu melihat gelombang-gelombang warna tanpa perbedaan. Akan tetapi, walaupun tiap manusia yang penglihatannya normal dapat melihat warna tanpa perbedaan, tiap bahasa memiliki jumlah warna yang berbeda dan batas warna yang berlainan (Keraf, 1990 :134). Dari penelitian yang dilakukan oleh B. Berlin dan P. Kay, dapat disimpulkan bahwa sistem tata warna pada bahasa-bahasa tidak sama. Ada bahasa yang hanya memiliki dua istilah warna, ada yang memiliki tiga istilah warna, ada yang empat, lima , enam, tujuh, dan delapan. Kategori terakhir mencakup juga bahasa-bahasa yang memiliki sembilan, sepuluh, atau dua belas warna (Keraf, 1990:136).
Dengan demikian, hal tersebut menunjukkan bahwa penamaan warna merupakan sebuah kegiatan berbahasa, yaitu suatu proses memberi nama warna yang dilakukan oleh masyarakat. Selain itu, penamaan warna menunjukkan adanya perbedaan masyarakat suatu bahasa dengan masyarakat bahasa lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Whorf yang mengatakan bahwa kita membelah dunia sesuai dengan bahasa yang kita pakai. Kita memotong-motong alam, mengorganisasinya menjadi konsep, dan memberikan signifikansinya terutama karena adanya kesepakatan pada komunitas yang memakai satu bahasa yang sama (Carroll, 1998: 213 dalam Dardjowidjojo, 2005: 225) sehingga bahasa hanyalah cermin dari konsep-konsep tatanan hidup masyarakat pemakainya sehingga bahasa cenderung berubah mengikuti derap perubahan yang muncul pada tatanan kehidupan masyarakat pemakainya (Lauder, 2007: 40).
Sumber:
Dardjowidjojo, Soenjono. 2005. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Darmaprawira, Sulasmi. 2002. Warna: Teori dan Kreativitas Penggunaannya ed. Kedua. Bandung: Penerbit ITB
Hassan, Tjiptaningroem F. 1982. “Ungkapan Kode Budaya melalui Bahasa” dalam Majalah Pembinaan Bahasa Indonesia Tahun 3 No. 3 hlm. 133—137.
Keraf, Gorys. 1990. Linguistik Bandingan Tipologis. Jakarta: Gramedia.
Lauder, Multamia RMT. 2007. Sekilas Mengenai Pemetaan Bahasa. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar