Selasa, 21 Desember 2010

Perubahan Makna dalam Sejarah Melayu


1.      PERLUASAN
Perluasan makna (generalisasi) adalah penambahan makna kata dari makna kata sebelumnya. Proses perluasan makna yang terjadi dalam naskah Sejarah Melayu ini dapat kita lihat dalam kata berikut:
Sunting : hiasan (bunga dsb) juga dicocokkan di rambut atau di belakang telinga (1966: 302)
1Sunting : 1 (bunga dsb) juga dicocokkan di rambut atau di belakang telinga (1999: 977)
2Sunting, menyunting 1 menyiapkan naskah siap cetak atau siap diterbitkan dng memperhatikan segi sistematika penyajian, isi, dan bahasa (menyangkut ejaan, diksi, dan struktur); mengedit 2 merencanakan dan mengarahkan penerbitan (surat kabar, majalah); 3 menyusun atau merakit (film, pita rekaman) dng cara memotong-motong dan memasang kembali (1999: 977).
Dalam naskah Sejarah Melayu, kata sunting mengalami perluasan makna. Hal ini dapat kita lihat dari perkembangan yang terjadi di kamus pada tahun 1966 dan tahun 1999. Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua (1999), kata sunting berkembang  menjadi dua entri, yaitu penambahan makna menyunting.

2.      PENYEMPITAN
Penyempitan makna (spesialisasi) adalah pengurangan makna kata dari makna kata sebelumnya. Proses penyempitan makna yang terjadi dalam naskah Sejarah Melayu ini dapat kita lihat dalam kata berikut:
 Berlengkap: 1 bersedia barang apa yg perlu dipakai; 2 (~ kan) telah diperlengkapi dng; (1966: 529)
Berlengkap: menyediakan barang apa yg perlu dipakai (1999: 584)
Dalam naskah Sejarah Melayu, kata berlengkap mengalami penyempitan makna. Hal ini dapat kita lihat dari perkembangan yang terjadi di kamus pada tahun 1966 dan tahun 1999. Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua (1999), terdapat penghilangan makna kedua dari Kamus Umum Bahasa Indonesia (1966).

3.      AMELIORASI
Ameliorasi adalah perubahan makna kata yang mengalami perubahan nilai kata menjadi lebih baik dari makna kata pada masa sebebelumnya. Proses ameliorasi yang terjadi dalam naskah Sejarah Melayu ini dapat kita lihat dalam kata berikut:
Peraduan : petiduran, tempat tidur (1966: 20)
Peraduan : 1 tempat beristirahat, peristirahatan; 2 hor tempat tidur (1999: 808)
Jika melihat perbandingan makna kata peraduan yang terdapat dalam kedua kamus, kita dapat melihat bahwa pada kata peraduan mengalami peningkatan nilai rasa kata yang lebih baik dari makna sebelumnya. Makna sebelumnya kata tersebut hanya sebagai kata sehari-hari kemudian berkembang menjadi kata sebagai kata hormat.

4.      PEYORASI
Peyorasi adalah perubahan makna kata yang mengalami perubahan nilai kata menjadi kurang baik dari makna kata pada masa sebebelumnya. Proses peyorasi yang terjadi dalam naskah Sejarah Melayu ini dapat kita lihat dalam kata berikut:
Kampung: 1 desa; dusun; kelompok rumah-rumah yg merupakan bagian kota; 2 ki belum mengerti sopan santun; (jenis) yg kurang baik;
Kampung: 1 kelompok rumah yg merupakan bagian kota (biasanya dihuni orang berpenghasilan rendah); 2 desa; dusun; 3 kesatuan administrasi terkecil yg menempati wilayah tertentu, terletak di bawah kecamatan; 4 terbelakang (belum modern); berkaitan dng kebiasaan di kampong; kolot (387--388)
Jika melihat perbandingan makna kata kampung yang terdapat dalam kedua kamus tersebut, kita dapat melihat bahwa pada kata kampung mengalami penurunan nilai rasa kata yang menjadi kurang baik dari makna sebelumnya. Makna sebelumnya kata tersebut tidak mengandung makna terbelakang (belum modern); berkaitan dng kebiasaan di kampong; kolot.

5.      METAFORA
Metafora adalah penggunaan satu kata konsep ranah dalam konsep ranah yang lain. Proses metafora yang terjadi dalam naskah Sejarah Melayu ini dapat kita lihat dalam kalimat berikut:
Jikalau tiada diberi beta pergi bermain ke Tanjung Bemban ini, duduk mati, berdiri mati, serba mati.
Kata mati dapat diartikan sebagai 1 sudah hilang nyawanya; tidak hidup lagi; 2 yang tak pernah hidup (1961: 578). Akan tetapi, dalam naskah tersebut, kata mati tidak dapat diartikan sebagai makna yang terdapat dalam kamus tersebut. Menurut saya, kata mati dapat diartikan sebagai rasa bosan sehingga tidak ingin melakukan apa-apa seperti orang yang sudah mati. Dengan demikian, peristiwa kebahasaan tersebut dapat disebut sebagai metafora.

6.      METONIMIA
Metonimia adalah penggunaan satu kata bagian dari sebuah konsep untuk mengungkapkan semua bagian dari sebuah konsep. Proses metonimia yang terjadi dalam naskah Sejarah Melayu ini dapat kita lihat dalam kalimat berikut:
Nila Utama hendak pergi beramai-ramaian ke Tanjung Bemban, hendak membawa perempuan baginda.
Kata perempuan diartikan sebagai 1 jenis sebagai laki-laki lw laki-laki; wanita; 2 bini (1961: 677). Kata perempuan dapat diartikan menjadi dua makna, sebagai jenis kelamin manusia dan istri. Akan tetapi, makna kata perempuan dalam teks tersebut adalah istri atau bini yang berjenis kelamin perempuan. Seorang istri pasti berjenis kelamin perempuan, tetapi perempuan belum tentu dapat disebut sebagai istri karena ada hal-hal yang harus dipenuhi oleh perempuan yang disebut istri, yaitu menikah atau bersuami. Dengan demikian, penggunaan kata perempuan yang bermakna sebagai bini; istri merupakan proses metonimia, yaitu kata sebagian (istri) diwakili oleh kata yang merujuk kata keseluruhan (perempuan).

Daftar Pustaka
Poerwadarminta. 1961. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Poerwadarminta. 1966. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar